Rabu, 26 September 2012

0 Mimpi Jadi Model

    KETIKA mau bikin tulisan, sudah jadi kebiasaan saya untuk browsing dulu dibantu Mbah Google. Rasanya tak lengkap tulisan tanpa referensi yang didapat setelah mengulik mesin pencari tercanggih dan terbesar di dunia itu. Ibarat makan nasi tanpa garam.
    Begitu pula ketika mau membuat tulisan ini. Langsung terlintas di benak, kata kunci yang saya pikir tepat untuk mencari bahan bagi tulisan singkat. 'Mimpi jadi model', demikian keyword yang saya pilih.  Dalam bayangan saya, ketika tiga kata itu 'dikasih' kepada Mbah Google, muncul tulisan tentang pengalaman seorang model, entah itu model catwalk, model majalah atau model kalender. Isinya menceritakan hasrat, keinginan, upaya dan mimpi yang mereka pelihara agar terapai sukses sebagai model dengan bayaran tinggi.
    Rupanya prediksi meleset, meskipun tidak jauh-jauh amat dari kata model. Pada halaman pertama Google, pada deretan teratas adalah tulisan dari sebuah situs pemberitaan tentang seorang artis yang menjaga bobot tubuhnya, demi memuluskan mimpinya menjadi model. Tapi bukan sembarang model, selebritas ini ingin jadi model majalah Playboy Amerika Serikat!
    Saya sedikit menggurutu. Kenapa perkiraan bisa meleset? Kenapa yang muncul malah tulisan (menurut saya) yang tidak penting ini? Sesuatu yang saya pikir tak lazim, mimpi jadi model yang memperlihatkan aurat. Hampir semua orang tahu majalah milik Hugh Hefner ini mengeksploitasi tubuh perempuan dengan dalih seni fotografi.
    Dari 10 tulisan yang terindeks di halaman pertama Google, empat diantaranya merupakan tulisan tentang selebritas Tanah Air yang bermimpi ingin jadi model majalah Playboy. Hal ini menunjukkan bahwa tulisan tentang mimpi jadi model majalah tersebut ratingnya cukup tinggi. Rating tinggi berarti hits atau yang mengklik untuk membaca cukup banyak.
    Walaupun tidak bisa diabaikan pula, pengelola situs-situs yang mengangkat tema tersebut melakukan teknik otimasi pada mesin pencari atau Search Engine Optimization (SEO). Biasanya dilakukan para blogger agar postingan terindeks di halaman depan Google.
    Kembali pada bahasan mimpi jadi model, saat ini ajang pencarian bakat seperti modelling, baik lokal maupun nasional sangatlah banyak. Menunjukkan bahwa menjadi model adalah sesuatu yang sangat menarik. Di Indonesia, menjadi model bak pembuka jalan untuk jadi terkenal lalu melakukan lintas profesi selebritas lainnya macam penyanyi, pemain film atau sinetron.
    Namun, di Indonesia profesi model masih membatasi pelakunya dengan kriteria khusus, yakni kecantikan fisik. Mau tahu rinciannya? Berwajah fotogenik, tubuh tinggi semampai, kalau punya tampang blasteran lebih baik lagi.
    Indonesia belum mengakomodasi bakat yang dimiliki orang-orang seperti Darell Ferhostan, seorang model Adrogyny (seorang model pria tulen didandani sebagai perempuan) Indonesia, yang malang melintang di dunia fashion internasional.
     Kalau model Adrogyny masih susah cari job di Indonesia, apalagi mereka yang tidak memiliki kecantikan fisik seperti yang disyaratkan. Jangankan mimpi jadi model majalah Playboy, mimpi jadi model pun tak ada di benak mereka.

Sumber foto: cartoonized.net



0 Belajar Memahami Rakyat

    NAMANYA Chauvet Cave atau Chauvet-Pont-d'Arc Cave. Merupakan sebuah gua yang terletak di Prancis bagian selatan. Kelebihan gua ini dibanding gua lain, bukan pada keindahan ukiran alam macam stalaktit atau stalagmit. Melainkan pada hasil goresan manusia.
    Pecinta alam mengharamkan kegiatan mengambil, menambah, mengubah, bahkan mengotori isi gua. Ada tiga motto yang selalu ditekankan bagi penggemar caving (penelusuran gua), yakni 'Take nothing but pictures, leave nothing but footprints, kill nothing but time'. Jangan ambil sesuatu kecuali foto, jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak kaki dan jangan membunuh sesuatu kecuali waktu.
    Walaupun sama-sama bikinan manusia, namun goresan di Chauvet Cave jauh lebih tua dari motto bagi penelusur gua itu. Di gua tersebut motto pecinta alam tak berlaku, khususnya bagi goresan di dindingnya. Seandainya goresan itu baru saja dibuat manusia, tentu bakal dihapus oleh aktivis lingkungan dan pecinta alam.
    Goresan itu bukan goresan biasa. Tapi merupakan jejak rekam sejarah peradaban manusia. Di gua tersebut terdapat beberapa lukisan. Sejauh ini, lukisan itu diklaim sebagai lukisan tertua di dunia. Diperkirakan usianya lebih dari 32.000 tahun. Perkiraan para ahli, masa itu merupakan zaman es dan manusia sudah mengenal bentuk seni lukis walaupun tampak sederhana.
    Hewan pemamah biak yang juga jadi sumber makanan utama bagi manusia saat itu dilukiskan di dinding gua berwarna coklat kemerahan. Tak lupa di sebagian tubuhnya ditumbuhi rambut berwarna hitam. Ada pula kelompok hewan pemangsa seperti singa yang digambarkan hanya siluet dengan garis hitam lebih menonjol.     Uniknya, gambaran yang dilakukan manusia puluhan ribu tahun lalu itu cukup meyakinkan. Bisa dikenali dengan jelas karena ada permainan warna, menunjukkan sudah ada keahlian membuat zat pewarna pada masa yang tak terbayangkan oleh manusia modern itu.
    Kini, puluhan ribu tahun sesudah lukisan itu dibuat, seni lukis berkembang sangat pesat. Sedikitnya ada empat aliran dalam melukis, yakni surrealisme, kubisme, romantisme dan plural painting. Pada perkembangannya, aliran melukis makin banyak, bertambah dengan adanya ekspresionisme, dadaisme, fauvisme, neo- impresionisme, realisme, naturalisme, De Stijl dan abstrak.
    Walaupun kini memiliki bagitu banyak aliran, tapi ada satu kesamaan antar pelukis yakni sama-sama memiliki kebebasan dalam berekspresi. Bahkan, jika sang pelukis mau, apa yang ingin disampaikannya atau 'suara hatinya' bisa disamarkan melalui lukisan. Satu contoh adalah Lukis Monalisa karya Leonardo da Vinci.
    Memahami atau mengerti sebuah hasil karya lukis tak bisa hanya sepintas lalu. Sama seperti ketika memahami isi dari sebuah buku yang tidak cukup dibaca sekali, lukisan pun demikian. Perlu diperhatikan dengan seksama, dipahami garis demi garis goresan kuas sang pembuatnya.
    Analogi memahami lukisan dan buku juga bisa disamaartikan dengan memahami kehendak rakyat. Kalau cuma dilirik sekilas, didengarkan tapi sebentar, atau diajak ngobrol tapi hanya satu arah, niscaya tidak bakal mengerti kehendak rakyat. Alih-alih percaya, bisa saja rakyat memilih revolusi ketimbang reformasi yang berjalan stagnan.

Sumber foto: tumblr.com

Senin, 24 September 2012

2 Jangan Cuma Inggris

    EF English First, sebuah lembaga pendidikan terkemuka dunia tahun lalu mengumumkan laporan komprehensif pertama tentang indeks kemampuan berbahasa Inggris di 44 negara. Negara yang dimaksud adalah negara yang bukan dengan bahasa utama bukan bahasa Inggris.
Lantas, apa hasilnya? EF English Proficiency Index menempatkan Indonesia di peringkat 34 dari 44 negara.
    Meskipun hasil itu menunjukkan penggunaan bahasa Inggris di Indonesia masih belum begitu signifikan dibanding negara lain, namun faktanya, cukup banyak warga negara Indonesia yang mahir menggunakan bahasa internasional itu. Terutama kalangan terdidik, seperti pelajar mahasiswa maupun usahawan.
    Ya, walaupun tak secara resmi ditetapkan pemerintah, namun bahasa Inggris seperti sudah menjadi bahasa kedua setelah bahasa Indonesia, digunakan pada acara resmi. Misalnya jadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah bertaraf internasional atau rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Digunakan pada seminar- seminar bertaraf internasional, pertemuan antar pemerintah.
    Orangtua pun tak mau ketinggalan mendidik anak untuk mengela lebih dini bahasa Inggris. Sejak belia sudah dikenalkan tentang pelafalan. Semakin besar diajarkan kosa kata. Lebih besar lagi diajari grammer, anak diikutkan kursus bahasa Inggris. Bahkan ada yang kebablasan, bahasa Inggris dipakai dalam percakapan sehari- hari dalam keluarga, sejak si anak masih sangat muda. Sedikit banyak, berpengaruh bagi anak pada penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa lokalnya.
      Bahasa Inggris digunakan pula di bidang bisnis. Di era globalisasi seperti sekarang, dunia usaha menuntut sesuatu yang lebih. Makin banyak perusahaan lokal Indonesia yang masuk ke pasar dunia, dan sebaliknya, makin banyak perusahaan internasional yang masuk ke pasar lokal. Maka penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa 'bisnis' menjadi suatu keharusan.
    Memang, tak selamanya penggunaan bahasa Inggris mulus-mulus saja. Tak sedikit yang menganggap bahasa ini merupakan obsesi dari dari era lain dan dunia lain. ini menurut pengguna dan pecinta bahasa Perancis. Bahkan, mereka sampai membuat petisi online dan memintap engguna bahasa Perancis untuk membebaskan diri dari pengaruh bahasa Inggris. Dan pembuat petisi bukan orang sembarangan. Mereka adalah akademisi dan cendekiawan berasal dari berbagai negara, seperti Prancis, Lebanon, Kanada, Belgia, Kamerun dan Aljazair.
    Penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah Tanah Air, bahkan ada sekolah yang menjadikannya bahasa pengantar tak sepenuhnya bisa dikatan benar. Internasionalisasi standar pendidikan Indonesia saat ini telah disalahartikan dengan mengganti bahasa Indonesia menjadi bahasa asing.
    Padahal, Undang Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dengan tegas menyatakan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar pada proses belajar mengajar.
    Terlepas dari persoalan itu, memang tak bisa dipungkiri, pengaruh bahasa Inggris sangat kuat. Bahkan lebih kuat dari pengaruh bahasa Indonesia kepada bahasa lain. Wajar saja, dari segi kuantitas pengguna, bahasa Indonesia berada di peringkat sembilan dari 10 sepuluh bahasa terbanyak dipakai di dunia. Bahasa Inggris menempati urutan kedua, masih kalah dibanding bahasa Mandarin yang menempati urutan pertama.
    Seharusnya, selain bahasa Inggris, bahasa Mandarin pun harus dikuasai, Kalau perlu diajarkan di sekolah. Apalagi di dunia bisnis, saat ini penggunaan bahasa Mandarin makin banyak. Mengacu pada pertumbuhan ekonomi Cina yang diperkirakan mencapai 6,3 persen pada 2013, mulai sekarang patut dipertimbangkan untuk belajar bahasa Mandarin. Ni Hao Ma.

Sumber foto: greatwall-of-china.com

0 Bakat Alami

    IT IS not about the gun but the man behind the gun (bukan senjata yang menentukan, tapi siapa yang mengoperasikan senjata itu). Kalimat bijak yang bersumber dari Negeri Barat ini mengacu pada kemampuan seseorang yang bisa berbuat lebih walaupun memiliki peralatan tak memadai. Artinya, bukan peralatan sebagai subjek pelaksana, melainkan orang yang menggunakan peralatan.
    Pada dunia fotografi, istilah ini juga sering dikaitkan untuk memosisikan keahlian seseorang dalam memotret objek. Keahlian fotografi bukan terletak pada kameranya, tapi pada skill atau sang fotografer.    Ketika kondisi cahaya pas, dan angle yang menarik, dijamin bakal sulit dibedakan antara hasil jepretan kamera seharga Rp 40 juta dengan potret hasil bidikan kamera harga Rp 4 jutaan.
    Memang, sulit dipungkiri, kamera harga mahal memiliki banyak kelebihan yang membantu pengguna untuk mendapat hasil foto maksimal. Padahal, semua kelebihan itu adalah fasilitas. Apakah jika tanpa fasilitas pendukung itu, sang fotografer bisa mendapat hasil maksimal? Jawabannya kembali pada kalimat bijak dari Barat tadi.
    Dan, kalimat bijak itu diterjemahkan oleh vendor-vendor raksasa dunia menjadi ponsel-ponsel berkamera yang kini di genggaman hampir tiap lapisan masyarakat. Dari ponsel harga Rp 200 ribuan sampai jutaan rupiah, hampir semua menyediakan fasilitas kamera dengan kualitasnya beragam pula.
    Kini, kemampuan memotret bukan lagi milik fotografer. Semua orang yang mempunya ponsel berkamera bisa menjadi fotografer, baik untuk diri sendiri maupun bagi orang lain. Sosial media juga memfasilitasi dengan menawarkan fitur uploading gambar, bahkan berkombinasi dengan aplikasi buatan pihak ketiga untuk hasil lebih baik atau unik. Satu contoh adalah Instagram, yang kini sudah dikuasai Facebook.
     Saking mudahnya mengoperasikan, maka seseorang yang tidak punya keahlian memotret pun hasil jepretannya terlihat menarik. Fakta itu menegaskan bahwa di balik foto yang keren, ada pemencet tombol shutter, ada yang mengarahkan. Tak tertutup kemungkinan jika hasil jepretan dari seorang fotografer menggunakan kamera ponsel kemudian diotak-atik dengan instagram, hasilnya bakal lebih baik dari hasil foto kamera canggih tapi sang tukang foto tak menguasai teknik memotret.
    Senjata dan kamera adalah alat atau sarana. Sang pemegang atau pengendalinya lah yang mengarahkan bidikannya. Sama seperti lidah, bisa membuat seorang berkuasa dengan kemampuan agitasinya.
    Seni atau teknik memaksimalkan fungsi lidah untuk berkomunikasi ini menempatkan tokoh-tokoh dunia berjaya di masanya. Di Eropa ada Adolf Hitler. Di Benua Amerika (Kuba) diwakili Fidel Castro. Sementara Asia (Indonesia) dikenal nama Presiden RI pertama Soekarno.
    Apakah lidah menjadi kekuatan krusial atau sekadar alat pengecap, semua tergantung kepada si pemilik lidah. Tapi, kalau melihat talkshow di televisi, orang Indonesia mulai pandai dalam agitasi, ahli bersilat lidah. Tapi, apakah barangkali memang bakat alami bangsa Indonesia pintar berkoar-koar?

Sumber foto: beritateknologi.com

Kamis, 20 September 2012

0 Mengukir Sejarah

    PADA abad ke-19, Austen Henry Layard, arkeolog amatir Inggris menemukan kepingan batu bertulis, berkisah tentang raja Uruk dari Babilonia, bagian dari epik Gilgamesh (cerita seorang pria yang mencari rahasia keabadian).
    Sejumlah ahli meyakini Gilgamesh hidup sekitar 2700 tahun Sebelum Masehi. Sementara di kepingan itu tercatat nama Shin-eqi- unninni sebagai penulisnya.
    Ada pula ditemukan 12 keping batu bertulis menggunakan bahasa Akkadia. Batu itu ditemukan di sisa reruntuhan perpustakaan Ashurbanipal of Assyria yang berdiri antara 669-633 Sebelum Masehi). Pada batu itu juga tertulis nama Shin-eqi-unninni.
    Para ahli percaya Shin-eqi-unninni adalah penulis pertama yang tercatat dalam sejarah. Tapi ada pula yang berteori seorang perempuan bernama Enmenjadi penulis pertama lantaran karyanya ditemukan berbahsa Sumeria, bahasa yang lebih tua dari Akkadia.
    Baik Shin-eqi-unninni maupun Enmenjadi mungkin tak punya bayangan tulisannya bakal bertahan beribu tahun. Mungkin pula mereka tak mengira, ribuan tahun setelah masa hidupnya, siapa saja bisa menulis, dengan media yang beragam.
    Ya, penulis kini menjadi salah satu pilihan profesi yang cukup banyak diminati banyak orang dari berbagai kalangan. Sebab, profesi ini bisa dilakoni baik secara penuh atau kerja sampingan. Menjadi reporter atau wartawan adalah salah satu profesi penulis profesional. Sementara penulis blog, bisa dikategorikan profesi sampingan.
    Namun, saat ini penulis dengan media blog pun bisa jadi profesi utama yang menghasilkan uang. Tak sedikit yang punya penghasilan puluhan juta sebulan karena menekuni dunia blog.
    Keran kebebasan berekspresi dengan media blog mulai dikenal ketika pada 23 Agustus 1999, Blogger diluncurkan oleh Pyra Labs. Belakangan, namanya berubah menjadi blogspot setelah diakuisisi Google. Belakangan, muncul Facebook karya Mark Zuckerberg dan Twitter olahan Evan Williams (salah satu pembuat Blogger) yang memangkas cara kerja blog menjadi lebih singkat.
    Jadi, apa pun medianya, batu, kertas, blog, Facebook atau Twitter, semuanya menuntut satu hal, yakni tanggung jawab. Penulis profesional atau hanya kerja sampingan, sama-sama harus mempertanggungjawabkan karyanya. Sebab sebuah tulisan bisa mengukir sejarah.
    Kebebasan berekspresi adalah keuntungan, tapi tanggung jawab adalah keniscayaan. Ada pepatah mengatakan, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Bagaimana dengan penulis? Dia akan meninggalkan karyanya yang abadi. *

Ket: Sumber foto: bloganavazquez.com

My Blog List

 

Coretan Royan Naimi Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates