Jumat, 01 Februari 2013

0 Game dan Realita

    ANAK-ANAK zaman sekarang mungkin tak mengenal konsol game legendaris bernama Atari. Ya, sekitar akhir 1980-an, konsol game ini sangat populer di kalangan anak-anak. Tentu saja anak-anak dari kalangan berduit pula. Sementara bagi yang tak memiliki (seperti saya, hehehe) cukup jadi penonton, syukur-syukur teman yang punya mau meminjami.
    Memang, tentu saja tidak bisa dibandingkan, antara konsol game (dulu lebih dikenal dengan sebutan video game) era 1980-an itu dengan konsol game zaman sekarang seperti Sony Playstation 3, Nintendo Wii atau game arcade di komputer atau game online.
    Beda zaman, beda teknologi. Sangat banyak perbedaannya, salah satunya dari sisi grafis. Tampilan game saat ini lebih hidup. Game dengan tokohnya manusia ditampilkan sangat nyata. Beraktivitas nyaris sama seperti manusia. Bahkan, jika ada game dibuat berdasar realita, maka sang tokoh dibuat semirip mungkin.
    Satu contoh adalah game FIFA 2012 atau Pro Evolution Soccer (PES) 2012. Penggemar striker Barcelona, Lionel Messi bakal mendapati idolanya itu bisa dikontrol sekehendak hati, dengan tampilan yang sangat mirip. Atau, penyuka pemain sayap Real Madrid, bisa dimainkan dan berlari menyisiri lapangan sepak bola sangat cepat sama seperti manusia aslinya.
    Teknologi semacam itu belum bisa diterapkan pada game konsol seperti Atari yang dilahirkan pada 1972. Belum pula mampu diakomodasi game konsol pertama di dunia, Magnavox Odyssey. Konsol game yang muncul sebelum kelahiran Atari ini cuma bisa mengoperasikan sebuah game bernama Pong. Apa itu Pong? Merupakan game sederhana mengambil konsep permainan tenis. Satu bola dengan dua papan di kiri dan kanan. Pemain sebisa mungkin harus berusaha mengembalikan bola ke daerah lawan.
    Andaipun saat itu game yang popular pada milenium kedua seperti Angry Birds sudah bisa dimainkan di era 1970-an atau 1980- an, tentu merupakan lompatan teknologi yang luar biasa. Bisa-bisa bikin seantero jagat terkagum-kagum, laksana penduduk yang tinggal di kampung terpencil ketika pertama kali melihat mobil.
    Sebenarnya, apa yang dirasakan oleh pemain game, baik zaman baheula maupun sekarang hampir sama. Ekstase ketika memenangkan permainan tak ada bedanya dari dulu hingga sekarang. Demikian pula ketika mengalami kekalahan, rasanya membekas sampai di hati.
    Namun, kemajuan teknologi membuat game zaman sekarang memiliki daya pikat jauh lebih kuat, bahkan seakan mencandui anak-anak. Makanya, anak pun betah berjam-jam memainkan iPad atau tabletnya. Tak mau makan saat asyik main Playstation. Menjadi reaktif atau marah ketika diminta belajar saat bermain game online.
    Seorang ilmuwan, Baroness Greenfield menyebutkan, ketika seseorang bermain game terlalu lama dan mengesampingkan banyak hal, maka tercipta suatu kondisi baru yang berdampak pada otak. Anak akan kehilangan waktu berharga seperti saat-saat ia seharusnya bermain, memanjat pohon, atau memberi pelukan pada orangtuanya.
    Siapa pun yang menjadi orangtua tentu tak ingin anak menjadi seperti itu. Manusia memang cenderung sulit untuk berlawanan dengan kemajuan teknologi. Tapi, setidaknya orangtua bisa membatasi agar anak tidak terlampau larut hingga menganggap game adalah realita dan realita adalah game. Bisa dimulai dengan memilihkan game yang edukatif. (*)

0 Diplomasi Gastronomi


    ADA satu berita menarik pada sebuah situs pemberitaan berbahasa Indonesia milik anak negeri. Pada berita yang terdata awal Januari 2012 itu, disebutkan, Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Spanyol, Adiyatwidi Adiwoso Asmady, melancarkan diplomasi gastronomi.
    Dia menggelar Pekan Gastronomi Indonesia di Madrid. Para duta besar negara sahabat pun diundang mencicipi kuliner Indonesia yang disajikan di Hotel Intercontinental, Madrid, Spanyol.  Demi memuluskan perhelatan, dua juru masak Indonesia dari Intercontinental Jakarta, Jenal Abidin dan Dedih Syamsudin  didatangkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi kreatif. Keduanya dibantu chef dari Spanyol Jose Luque dan Juan Carlos De la tore untuk menyajikan berbagai kuliner Indonesia.
    Kemudian, pada berita itu disebutkan, budaya kuliner dari Indonesia yang ditampilkan dengan keeksotikannya serta bahan-bahan yang berkualitas dengan cita rasa yang tinggi, berhasil menjadikan gastronomi sebagai salah satu diplomasi Indonesia di Spanyol.
    Melihat dan membaca berita itu, saya menarik kesimpulan, Indonesia sukses berdiplomasi di Spanyol dengan menanamkan citra melalui keberagaman kuliner yang menggugah selera.  Sampai pada sukses itu, kita patut berbangga. Melalui kuliner, Indonesia bisa dikenal dunia. Dan memang, cita rasa masakan Nusantara tak perlu diragukan lagi. Apalagi mengenai keberagamannya. Tiap daerah memiliki ciri khas tersendiri.
    Dan seperti salah satu pengertian gastronomi yakni mempelajari berbagai komponen budaya dengan makanan sebagai pusatnya, maka secara tak langsung diplomasi gastromi mengenalkan budaya Indonesia. Menunjukkan karakter bangsa Indonesia yang berbudaya tinggi, warisan dari leluhur.
    Namun, sukses diplomasi gastronomi ini berbanding terbalik dengan kondisi bahan baku kuliner Nusantara. Sudah jadi rahasia umum, harga bahan pangan di Indonesia tak stabil. Padahal, Indonesia kaya dengan sumber daya alam yang melimpah.
    Faktanya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) setidaknya Indonesia masih mengimpor tujuh bahan pangan yang juga dihasilkan oleh petani negeri ini. Seperti kentang, singkong, biji gandum dan meslim, tepung terigu, jagung, beras dan kedelai.
    Bayangkan, singkong, beras dan kedelai sangat familiar bagi kita. Indonesia bangetlah. Ternyata negeri ini belum mapu swasembada. Bahkan untuk kedelai, kondisinya sangat parah. Indonesia masih mengimpor 45 persen untuk kebutuhan kedelai dalam negeri. Ada lagi, 50 persen kebutuhan garam dalam negeri juga diimpor. Bahkan 70 persen kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi melalui impor.
    Kondisi seperti tersebut menjadikan diplomasi gastronomi ala Kedubes Indonesia di Spanyol bagai tak ada implikasinya. Kalau mau lebih dibesarkan, kedaulatan negara dan rakyat Indonesia patut dipertanyakan. Kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan itu sudah hilang. Berganti libelarisasi sektor pertanian dan pangan, dimulai masuknya International Monetary Fund (IMF) pada 1998 dan perdagangan bebas WTO. Indonesia sudah jadi bagian dari liberalisasi itu. (*)

0 Belajar Jadi Objek

    IKAN bukan sebagai subjek, melainkan hanya sebagai pelengkap. Adapun subjeknya adalah tanaman air itu. Demikianlah prinsipnya seni aquascape. Merupakan salah satu jenis aliran dalam aquaris.   Penonjolan tanaman ini membedakan aquascape dengan dengan akuarium biasa yang mengutamakan ikan. Makin cantik tata letak tanaman air, maka makin indah dan tinggi nilai aquascape. Penataan yang benar dengan sendirinya membuat ikan bisa hidup dan berkembang.
    Konsep aquascape ini mirip dengan kehidupan manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa hidup sendiri. Selain berinteraksi dengan sesamanya, juga memilik realsi dengan makhluk lain, termasuk dengan alam.
    Tapi, sebagai makhluk yang paling mulia di muka bumi, manusia cenderung mementingkan diri sendiri. Memosisikan diri sebagai subjek, sebagai pihak yang menjadi episentrum semua aktivitas di muka bumi. Sementara makhluk lain adalah objek, bahkan lebih sering jadi objek penderita.  Maka, hampir segala aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya, menjaga stabilitas kewenangannya, berdampak negatif bagi makhluk lain.
    Ketika manusia memerlukan kayu, maka ditebanglah hutan. Sementara upaya menghutankan kembali kalah cepat dibanding gergaji-gergaji berantai yang membabat batang demi batang pohon. Apa pun pola pengelolaan hutannya, jika masih menempatkan manusia sebagai subjek, hasilnya sama dengan hutan habis!
    Saat hutan-hutan diubah menjadi kebun kelapa sawit, para penghuni hutan yang terbiasa dengan rerimbunan pohon  terpaksa beralih menyeruak di antara kebun sawit yang dulunya juga hutan. Babi hutan yang dulunya mencari makan di wilayah hutan terpaksa mengais-ngais di antara akar sawit atau ladang  bikinan manusia.
    Orangutan yang dulunya bergantungan di antara pohon-pohon tinggi, terpaksa berloncatan di pohon-pohon sawit yang rendah. Dan sekali lagi, karena manusia sebagai subjek, maka babi hutan, orangutan dan makhluk-makhluk lain hanya pelengkap. Maka diburu lah sang babi dan dibantai si orangutan atau dibakar hidup-hidup karena dianggap hama.
    Manakala hutan telah habis diganti tambang-tambang batu bara, maka siapa pun tak mampu melawan buldozer atau eksavator yang membuat lubang menganga, mengurangi unzur hara tanah hingga sulit untuk ditanami kembali.
    Seandainya manusia memosisikan diri sebagai objek, apalagi jika mau sebagai objek penderita, tentu bakal merasakan sakitnya diburu, perihnya dibakar hidup-hidup atau sulitnya mencari makan. Manusia merupakan satu-satunya makhluk di dunia yang berhak menyandang predikat khalifah, pemimpin, perwakilan dari Sang Pencipta. Maka jadilah pemimpin yang adil. Sekali-kali rasakan dan belajar jadi objek penderita, jangan selalu jadi subjek. (*)








    

My Blog List

 

Coretan Royan Naimi Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates