Selasa, 16 April 2013

0 Prestasi Sekadar Mimpi

    SURVEI Global Peace Index pada 2009 menyebtukan Denmark menduduki posisi negara paling damai kedua di dunia, setelah Selandia Baru. Pada tahun itu juga, Denmark menjadi salah satu dari sedikit negara yang paling tidak korupsi di dunia, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi. Posisinya lagi-lagi kedua setelah Selandia Baru.
    Bahkan, menurut majalah Forbes, negara yang menganut sistem Monarki Konstitusional ini adalah negara yang memiliki iklim bisnis terbaik. Sejak 2006 sampai 2008, hasil survei menunjukkan Denmark  merupakan tempat yang paling menyenangkan di dunia", dipandang dari standar kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan.
    Kemudian, antara abad ke-8 hingga 10, bangsa Denmark dikenal sebagai bangsa Viking. Bersama dengan orang Norwegia dan Swedia, mereka mengkolonisasi, berlomba, dan berdagang di semua bagian Eropa.
    Sampai di sini, rasanya sulit membandingkan prestasi negara kecil ini dengan Indonesia. Terutama jika dikaitkan dengan indeks persepsi korupsi,masih harus belajar banyak dari Denmark. Tapi bukan persoalan korupsi yang ingin dibicarakan. Cuma soal si bola sepak atawa sepak bola.
    Untuk urusan si kulit bundar ini, Denmark masih kalah dari negara-negara besar macam Jerman, Perancis, Inggris atau Italia. Ada cukup banyak pemain Denmark berbakat, tapi itu bukan menjadikan negaranya sebagai kiblat sepak bola. Tidak pula menjadikan Denmark pusat perhatian dunia.
    Denmark pernah memiliki Michael Laudrup, salah satu pemain tersukses yang pernah bermain di klub elit Eropa seperti Juventus, Lazio, FC Barcelona, Real Madrid dan Ajax.    Jangan lupa, Denmark pernah punya kiper tangguh, Peter Schmeichel yang membawa klub Manchester United meraih treble winner musim 1997-1998. Dan talenta-talenta itu berlanjut dengan kemunculan pemain masa kininya, Anders Lindegaard, Kasper Schmeichel dan Nicklas Bendtner.
    Tapi, pemain berbakat tidaklah cukup. Di mata publik sepak bola, Denmark tidak lebih baik dibanding Italia atau Perancis, apalagi Spanyol.   Padangan sebelah mata itu, mendadak luntur pada 1992, tepat di saat perhelatan Piala Eropa di Swedia. Denmark sukses meruntuhkan segala prediksi di Euro 1992. Tak ada yang mengira, perjalanan Denmark. Gagal lolos kualifikasi, kemudian bisa menembus putaran final setelah mendapat wildcard menggantikan Yugoslavia yang tengah dilanda perang, malah berjaya sebagai jawara.    
    Sejarah Denmark merupakan salah satu sejarah paling spektakuler di dunia sepak bola. Tim Dinamit yang sama sekali tidak diunggulkan justru tampil gemilang hingga akhirnya mereguk gelar internasional pertama dengan mengalahkan Jerman di partai final dengan skor 2-0. Ini betul-betul fakta from zero to hero.
    Prestasi Indonesia masih sangat jauh dibanding Denmark. Tapi, semangat untuk meraih prestasi maksimal tentu diinginkan oleh segenap pecinta sepak bola Tanah Air. Bahwa bola itu bulat mengacu pada apa pun bisa terjadi saat pertandingan sepak bola, termasuk tim  lemah bisa mengalahkan tim kuat, benar adanya. Tapi pembinaan tak kalah penting untuk menggapai prestasi. Kalau induk organisasi sepak bola Tanah Air tak kunjung reda dari konflik, bagaimana mau melakukan pembinaan? Prestasi sekadar impian belaka. (*)







Senin, 15 April 2013

0 Mencontoh Cina

      SELALU ada yang baru jika terkait teknologi. Ketika sebuah produk diluncurkan, dipasarkan, variannya sudah mulai dirancang. Bahkan ada yang sudah disiapkan untuk diluncurkan pada kuartal atau tahun berikutnya.
    Belum lagi ketika vendor pesaing meluncurkan produk dengan teknologi selangkah lebih maju, maka dijamin, masyarakat pengguna jadi pusing memilihnya. Kebetulan lagi, pas kantong lagi kering. Jadi, hanya bisa memandangi atau membaca reviewnya.
    Ya, teknologi erat kaitannya dengan dunia bisnis. Perputaran uang di bisnis teknologi sangat besar. Makin hebat teknologi yang digunakan, makin mahal suatu produk.
    Sulit dicari suatu produk murah menggunakan teknologi yang canggih. Satu contoh adalah telepon genggam. Produk Cina dikenal berharga murah dengan fitur cukup banyak. Tapi, jika ditilik dari sisi kualitas, tak bisa disamakan dengan produk dari vendir raksasa seperti Apple, Nokia atau Samsung.
    Membicarakan produk teknologi tak cukup waktu sesaat. Suatu produk jika dikulik atau dibedah, kemudian di bahas satu persatu, membutuhkan waktu khusus. Apalagi jika yang membahasa orang Indonesia.
    Bukan maksud ingin mengecilkan kehebatan bangsa, tapi kalau boleh jujur, kalau urusan bahas membahas, diskusi sana sini atau komentar mengomentari dengan kritikan 'superpedas' dan menyakitkan Indonesia nomor satu.
    Mau bukti? Coba buka portal-portal berita macam kompas.com, detik.com, atau yahoo.com dan situs-situs lainnya. Tiap berita yang diunggah, hampir selalu ada yang berkomentar. Bahkan, pada berita yang memiliki daya tarik tinggi seperti berita peristiwa, selebritas atau politik, jumlah komentatornya bejibun.
    Tak heran, boleh di bilang Indonesia juara di bidang komentar ini. Di satu sisi, situs yang mendapat komentar mendapat untung karena hits pengunjung bertambah. Namun, di sisi lain, isi komentar kadang di luar batas kesopanan, dan norma. Bahkan, cenderung ke arah SARA.
    Di bidang teknologi ini, apakah kita, bangsa Indonesia, hanya ingin mengambil peran sebagai komentator? Tak inginkah menjadi pemilik, pelaku, pembuat teknologi sehingga punya kuasa? Ada banyak contoh negara penguasa teknologi. Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat adalah sedikit contoh bangsa yang menguasai teknologi.      Cina mungkin juga masuk dalam kelompok bangsa itu. Mulai mainan sampai ponsel dijual di Indonesia. Dan, kita, bangsa Indonesia dengan 'rela' membelinya karena harganya murah. Andaikan kita bisa seperti Cina.
    Tapi, Cina kan bangsa yang memiliki kebudayaan tinggi, bahkan sejak ribuan tahun lalu, kebudayaan Indonesia tidak seujung kukunya. Jika ada yang berpikir macam itu, namanya kalah sebelum bertanding. Belum berbuat sudah pasrah duluan.
    Kalau belum bisa menyamai, ya.. belajar dulu. Dari belajar baru bisa menyamai, mencontoh lalu melampaui. Ingat, pribahasa dulu, Belajar lah sampai ke Negeri Cina. *

 


























Minggu, 14 April 2013

0 Musik yang Menyenangkan

    TIAP kali mendengar musik yang menghentak, putra saya yang masih berusia 2 tahun langsung berdiri sambil menggoyangkan badannya. Tak memandang tempat. Ketika alunan nada terdengar di indera dengarnya, tubuhnya langsung bergoyang.
    Kalau ada tempat yang lapang bisa sambil menggerakkan tangan atau memutar badan. Jika di ruang yang sempit, cukup menggerakkan kepala dan menggoyangkan bahu. Bahkan, saat berada terjepit di sadel sepeda motor, di antara kedua orangtuanya, dia masih bisa menggerakkan badannya ketika mendengar sayup-sayup suara musik dangdut.
    Untuk batita seperti dia, selera musiknya sudah seperti orang dewasal. Rata-rata pilihannya pada nada yang ngebit dan cepat. Dia sangat suka Firework-nya Katy Perry. Begitu pula Last Friday Night sang biduan asal Amerika Serikat itu. Dia juga menyenangi tembang Who You Are dinyanyikan Jessy J. Ketika mendengar lagunya dia ikut melafakan money-meny seperti diucap Jessy J.
    Bukan cuma penyanyi mancanegara, penyaki lokal pun dia suka. Paling sering diputarnya sambil bermain game di tablet adalah lagu yang dibawakan Sandhy Sondoro berjudul Biarlah Semua. Saya dan istri sampai merasa bosan karena lagu itu selalu diulang-ulangnya.
    Saya kurang tahu apakah ada korelasi antara kebiasaan kami mendengarkan lagu ketika istri sedang hamil dengan kegemarannya mendengar musik. Sampai-sampai main game di tablet pun anak kami ini tak mau tanpa musik. Pokoknya, apa pun itu bentuknya, jika ada nada dan harmoni disukainya. Termasuk suara azan. 
    Pada dasarnya, antara manusia dan musik hampir tak bisa dipisahkan. Sebab, musik memiliki sejarah yang teramat panjang dalam peradaban manusia. Diperkirakan sudah ada sejak zaman prasejarah, ketika manusia modern Homo Sapiens bermula sekitar 180.000 hingga 100.00 tahun lalu. Fakta tersebut berdasar pada hasil temuan arkeologi.
    Ada istilah musik adalah universal. Maksudnya memang musik membawa energi yang bisa dipahami baik secara sadar atau di bawah sadar oleh manusia dari berbagai macam ras. Musik yang dibawa orang Idonesia bisa disukai dan dinikmati orang Eropa. Begitu pula ketika musisi Amerika Latin membawakan musik bisa disukai orang-orang Asia.
    Sejatinya musik terkait erat dengan indera dengar dan perasaan. Dan, keduanya merupakan bagian dari elemen seni, sarana untuk menikmati maupun meresapi. Tapi uniknya, musik juga bisa dibuat oleh orang-orang yang secara fisik kekurangan.
    Lalu lahirlah para jenius di bidang musik seperti Ludwig van Beethoven, musisi klasik yang memiliki keterbatasan pendengaran tapi mampu menggubah dan mencipta karya-karya fenomenal seperti 9th Symphony yang menjadi acuan wajib musisi klasik.
    Mungkin tak banyak yang tahu, sala satu pentolan grup musik yang kini sedang populer, Black Eyed Peas, Will.I.Am juga mengalami gangguan pendengaran. Tapi hal itu tak mengganggunya malah dianggap sangat berpengaruh sebagai revoluisioner di industri musik dunia. Tangan dinginnya telah memoles Michael Jackson, Rihanna hingga Britney Spears.
    Relasi yang kuat antara manusia dengan musik membawa efek  positif. Disebutkan musik bisa jadi terapi untuk relaksasi. Juga mencerdaskan otak anak, dengan menstimulias melalui musik klasik.
    Memang belum ada bukti empiris yang mengaiktna musik khususnya klaisk dengan peningkatan IQ manusia atau anak. Memainkan musik mungkin hanya bisa dilakukan mereka yang memilik bakat. Mendengarkan musik bisa siapa saja dan sangat menyenangkan. (*)


Kamis, 11 April 2013

0 Mimpi Super Power

    PEMANDU sorak (cheerleaders) identik dengan kaum hawa, usia masih muda, penampilan menarik (kalau di Barat cenderung seksi). Ya, sekarang pemandu sorak hampir 97 persen perempuan (menurut situs id.wikipedia.org).
    Tak banyak yang tahu, pemandu sorak awalnya dari kegiatan yang seluruhnya digeluti kaum adam. Perempuan mulai berpartisipasi di 1920-an. Mulai 1940-an, pemandu sorak menjadi kegiatan yang hampir seluruhnya didominasi perempuan.
    Atraksi pemandu sorak berasal dari Amerika Serikat. Awal aktivitas ini dimulai sekitar 1880-an di Universitas Princeton. Belakangan, tim pemandu sorak menghibur di jeda American Football dan basket. Namun, mereka juga sering diundang untuk beraksi pada pawai atau karnaval, dan kadang-kadang saat tim sepak bola, hoki es, bola voli, American football dan bisbol bertanding.
    Menjadi pemadu sorak di american football atau basket NBA bukan perkara gampang. Mereka harus mengikuti seleksi yang keta agar bisa jadi pemandu sorak klub. Tak sedikit mahasiswi pascasarjana yang menjadi pemandu sorak klub basket atau american football.
    Dari Negeri Paman Sam, aktivitas ini juga merambah Indonesia. Hampir tiap sekolah ada tim pemandu soraknya. Pada waktu-waktu tertentu, juga ada kompetisi antarpemandu sorak.   Mungkin sebagian orang tidak begitu meperhatikan aktivitas pemadu sorak. Bahkan, mungkin pula ada yang menganggap aktivitas cheerleaders tak penting. Toh hanya berteriak-teriak sambil melakukan gerakan koregorafi tertentu. Tapi ada juga yang memperhatikan pemandu sorak karena sang penampilnya berparas ayu ditambah pakaian ketat yang cenderung minim.
    Sebenarnya pemandu sorak tidak bisa dibilang aktivitas remeh temeh. Toh di negara asalnya cukup banyak mahasiswi pasca sarjana tertarik menggelutinya. Apalagi profesi cheerleaders sebuah klub layaknya selebritas.
    Atraksi pemadu sorak bukan hal yang gampang dilakukan. Risiko cedera juga cukup besar lantaran gerakan yang dilakukan bukan gerakan motorik pada umumnya. Paling mudah adalah mencerna filosofi dari aktivitas pemandu sorak. Mereka selalu tersenyum, meskipun saat salah melakukan gerakan. Walau dalam kondisi sakit akibat terjatuh. Artinya, walaupun dalm kondisi kesusahan, tak berarti harus meratapi.
    Kemudian, ketika formasi sambung menyambung dari bahu ke bahu membentuk piramida, ini menunjukkan kebersamaan dan satu visi. Jika keduanya digabungkan maka akan melahirkan kekuatan.
    Seandainya sebagai bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku serta adat istiadat, belajar filosofi dari atraksi pemandu sorak. Indonesia akan menjadi negara super power, seperti negeri asal pemandu sorak. Bisa dipastikan, itu bukan mimpi di siang bolong. (*)


0 Nomor Buncit

       NAMANYA Gundam Fixed Platinum. Beratnya 1.400 gram dan tingginya cuma 13 sentimeter. Tapi, jangan kira mainan robot- robotan ini bisa diperoleh dengan harga murah. Harganya sekitar 41.000 Dolar AS atau sekitar Rp 369 juta! Kabarnya ini gundam termahal di dunia.
    Gundam atau dalam bahasa Jepang disebut Gandamu semula adalah serial animasi Jepang. Pertama muncul di TV Negeri Matahari Terbit sekitar April 1979, judulnya Mobile Suit Gundam. Gundam merupakan mesin perang dalam bentuk robot raksasa yang dikemudikan oleh seorang pilot.
    Belakangan, gundam berkembang luas menjadi model kit robot. Ada komunitasnya juga yang menyukai robot rakitan ini. Menurut penyukanya, menekuni hobi mengoleksi gundam sekaligus melatih otak untuk teliti dan sabar.
    Kalau bicara tentang robot, Jepang memang jagonya. Boleh jadi negeri barat sebagai pencetus awal atau perintis teknologi robot. Tapi, Jepang lah negeri yang mengembangkan teknologi robot hingga demikian pesat seperti sekarang. Bahkan, dianggap sebagai kiblat teknologi robotic.
    Lantas, di mana posisi Indonesia dalam perkembangan teknologi robot? Sampai saat ini belum ada data kapan dan dimana robot maupun teknologinya masuk ke Tanah Air. Namun, kemauan individu-individu negeri ini untuk meminati, mengembangkan teknologi robot patut diacungi jempol. Meskipun tanpa dukungan langsung pemerintah.
    Pemerintah pada awal 1980-an meenrapkan kebijakan nasional, memberi kesempatan pada peminat robot-robot untuk mengembangkannya. Maka, dikembangkan Mesin Perkakas Teknik Produksi dan Otomatis (MEPPO) diprakarsai BPPT bekerjasama dengan ITB, Industri strategis, serta Laboratorium Elektronika Terapan (LET) di LIPI.
Sayang, tak ada kabar perkembangannya.
    Sebagai negara yang berkembang dan mempunyai target menjadi negara maju pada suatu saat nanti, maka teknologi tak bisa dipinggirkan, termasuk teknologi robot. Semakin maju suatu negara, maka penggunaan teknologi robot juga makin banyak.
    Contoh kecil penggunaan robot penjinak bom atau pendeteksi bom. Masih ingat drama penangkapan teroris yang menjadi otak intelektual di balik pengemboman Hotel The Ritz-Calrton dan JW Marriott Jakarta 2009 lalu? Robot ini memuluskan langkah Densus 88 membekuk pelaku teroris yang bersembunyi di tengah ladang jagung.
    Robot itu mirip dengan prototype robot bikinan Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) Institut Teknologi Surabaya (ITS). Namun, robot yang dipakai Densus 88 bukan buatan PENS, melainkan barang impor, biasa didatangkan dari Inggris atau Norwegia.
    Sebenarnya individu-individu Indonesia punya skill dan mampu mengembangkan teknologi. Namun, kepercayaan yang belum bisa didapat dari pemerintah untuk menggunakannya. Regulasi tidak dibuatkan. Memang, sulit untuk meraih kepercayaan. Tapi, sebaliknya, ketika sama-sama menguntungkan, kepercayaan menjadi nomor buncit. (*)












My Blog List

 

Coretan Royan Naimi Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates