Jumat, 24 Juli 2015

0 Bikin Anak-anak Gembira

    NEGARA memberi penghargaan pada anak dengan menetapkan 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional. Sayang, tahun ini seperti kurang gaungnya. Padahal, penetapan ini berdasar Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 pada tanggal 19 Juli 1984.
    Sebenarnya peringatan hari anak berbeda-beda di seluruh dunia. Hari Anak Internasional diperingati tiap 1 Juni. Sedangkan Hari Anak Universal diperingati setiap 20 November. Namun, pada intinya semua peringatan Hari Anak adalah sama, yakni menghormati hak-hak anak di mana pun dia berada.
    Lebih tiga dasawarsa berlalu sejak Indonesia menetapkan 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional. Lantas, apakah anak Indonesia benar-benar telah terjamin haknya? Berdasarkan Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Tahun 1989, sedikitnya ada 10 hak yang harus diberikan untuk anak.
    Hak untuk anak tersebut meliputi hak untuk bermain, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan nama (identitas), hak mendapat status kebangsaan, hak mendapat makanan, hak mengakses kesehatan, hak untuk mendapatkan rekreasi, hak meperoleh kesamaan dan hak memiliki peran dalam pembangunan.
    Jika mengacu pada 10 dasar hak anak berdasar Konvensi PBB Tahun 1989, masih banyak yang perlu dibenahi agar semuanya terpenuhi. Upaya untuk memenuhinya ada dan telah dilakukan oleh pemerintah. Namun, implementasinya tak semudah mengucap kata. Kadang, hal-hal yang sederhana menjadi rumit ketika persona-personanya sendiri yang mempersulit.
    Dilihat dari sisi produk hukum, sejumlah aturan yang dibuat sudah cukup memadai. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang diterbitkan pada 17 Oktober 2014. Negara dalam UUD 1945 juga memberi porsi lebih dalam pemberian hak-hak kepada anak, terutama yang telantar. Seperti termaktub pada Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
    Kemudian, berdasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 serta Keputusan Presiden Nomor 36/1990, 77/2003 dan 95/M/2004 , dibentuklah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yakni sebuah lembaga independen yang dibentuk untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak.
    Ketika perangkat hukum sudah memadai demikian pula ada lembaga yang dibentuk khusus untuk perlindungan anak, maka cukup mengherankan jika masih banyak terjadi kriminalisasi pada anak, pengerahan tenaga anak, pelecehan seksual pada anak hingga kekerasan lain yang dialami oleh anak. Bahkan, akhir-akhir ini, seakan mengemuka banyak kasus kekerasan pada anak dibuktikan dengan maraknya pemberitaan.
    Jika mengacu pada pernyataan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam, kondisi anak Indonesia masih memprihatinkan. Banyak anak di jalan mencari uang dengan meminta-minta, mengamen, dan lain-lain. Mereka sangat rentan menjadi korban kekerasan fisik maupun seksual. Bahkan, tren pengaduan kasus anak yang dilaporkan ke KPAI dari tahun ke tahun terus meningkat baik jumlah maupun jenis pengaduannya. Ini menunjukkan belum optimalnya negara hadir menjamin perlindungan anak.
    Di sisi lain, keluarga sebagai benteng terlahir perlindungan pada anak malah tidak mampu melakukannya. Bahkan pada beberapa kasus, keluarga menjadi sumber anak mengalami ketidaknyamanan, seperti perceraian orangtua hingga pelaku kejahatan seksual pada anak yang masih dalam lingkungan keluarga.
    Bagi anak-anak, keinginan mereka adalah sesederhana pemikirannya. Bukan hal yang muluk-muluk atau sekadar janji manis di mulut tapi tidak ada implementasinya. Seperti cuitan Presiden Joko Widodo yang mengucapkan Selamat Hari Anak Nasional 2015 melalui akun twitter-nya @Jokowi. Anak-anak adalah pewaris pertiwi. Jaga dan buatlah mereka gembira. Sanggupkah kita membikin anak-anak gembira. (*)

My Blog List

 

Coretan Royan Naimi Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates