Selasa, 26 Juli 2011

0 Membenahi 'Besi Tua'

    BEBERAPA hari ini, para sopir dan pengusaha angkutan kota (angkot) atau di Banjarmasin lebih dikenal dengan sebutan taksi kuning, 'menggeliat'. Angir segar seakan berembus ketika Pemko melalui dinas perhubungan informasi dan komunikasi (Dishubkominfo) menginformasikan rencana penggantian angkot.
    Saat ini, kendaraan angkutan umum berwarna kuning dan putih kuning ini berjenis minibus seperti Suzuki Carry. Rencananya, angkot bakal diganti dengan mobil yang lebih bagus dan modern, yakni Suzuki APV. Untuk tahap awal sebanyak 125 mobil.
    Begitu tahu ada informasi itu, para sopir dan pengusaha angkutan kota ramai-ramai mendaftar. Angka yang mendaftar pun sudah melebih rencana pengadaan mobil Suzuki APV, yakni 150 lebih.
    Walaupun masih tahap pendaftaran, namun rencana pergantian mobil angkot ini membawa semangat baru, baik bagi pengusaha angkutan umum, sopir dan masyarakat. Sebab, sudah jadi rahasia umum, alat transportasi massal ini di Kota Banjarmasin ini mulai terpinggirkan.
    Ada banyak faktor yang menyebabkannya. Paling berpengaruh tentunya saja kemudahan masyarakat untuk mendapat kredit sepeda motor. Cukup dengan uang Rp 500 ribu sampai Rp 750 ribu, sepeda motor baru sudah bisa dibawa pulang. Ketika di belakang hari kreditnya macet, lalu motor ditarik oleh leasing, itu lain persoalan.
    Di sisi lain, saat ini usia angkot di Kota Banjarmasin tergolong 'besi tua'. Paling muda usianya buatan 2001. Bahkan, masih ada mobil keluaran 1983 yang beroperasi. Rata-rata usianya di atas 20 tahun!
    Lucunya, tidak ada upaya peremajaan sama sekali dari pemko. Lambat laun, orang pun lebih memilih sepeda motor karena lebih praktis. Ini terlihat jelas pada jumlah trayek. Semula ada 20 sekarang hanya tinggal lima.
    Alangkah naif jika sebuah kota tidak memiliki alat trasportasi massal. Apalagi status Kota Banjarmasin yang ingin menjadi kota metropolitan, memiliki alat transportasi massal adalah keharusan. Tidak bisa hanya mengandalkan sepeda motor, karena kepentingan dan orientasi penggunaannya berbeda. Demikian pula taksi, hanya bisa menyasar kalangan menengah ke atas.
    Sementara untuk menggunakan angkutan lebih besar macam bus tidak sesuai untuk Kota Banjarmasin yang kondisi jalannya pendek- pendek dan kebanyakan sempit. Demikian pula untuk dibangun trem atau kereta listrik, butuh dana yang tida sedikit. Alat trasportasi massal yang paling cocok untuk Kota Banjarmasin memang hanya angkot.
    Seandainya rencana seperti ini muncul lima atau 10 tahun lalu, mungkin kondisi angkutan massal di Banjarmasin tidak sekarat seperti sekarang, ditinggalkan oleh penggunanya. Tapi, tidak ada kata terlambat untuk memperbaikinya. Jika angkot bakal diganti dengan mobil jenis Suzuki APV benar-benar terealisasi, diharapkan muncul semangat baru untuk membenahi trasportasi perkotaan.
    Namun, patut dijaga, jangan sampai semangat ini ditunggangi oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan pribadi. Seperti oknum yang ikut berbaur di antara sopir dan pengusaha angkutan demi mendapatkan mobil baru dengan harga miring dan bisa dipakai untuk tambahan penghasilan.
    Harus pula diawasi, pengusaha-pengusaha dadakan yang menurut informasi mulai kasak-kusuk ikut mendaftar. Berikan ruang lebih bagi penggelut usaha ini atau sopir yang sudah berkecimpung puluhan tahun.
    Namun, penggantian angkot saja tidaklah cukup jika fasilitas lain terabaikan. Halte di Kota Banjarmasin jumlahnya sedikit. Trayek hanya tinggal lima. Sementara kondisi terminal semrawut. Semoga semangat pembenahan itu tak berhenti sampai pada pergantian angkot saja. (*)



 

Kamis, 14 Juli 2011

0 Dagelan Hukum

    PENEGAKAN hukum menjadi harapan masyarakat. Semua orang diperlakukan sama di mata hukum. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga agar hukum itu ditegakkan dengan benar.
    Walaupun jadi tanggung jawab bersama, tapi pilar-pilar hukum adalah ujung tombak pelaksananya. Hakim, jaksa, polisi dan pengacara berada dalam satu lingkaran hukum tak terpisahkan. Ketika salah satu berjalan di luar lingkaran, maka lemahlah hukum itu.
    Ada banyak kasus yang menunjukkan hukum itu melemah, mulai dari level nasional sampai ke tingkat daerah. Salah satu contoh melemahnya hukum adalah indikasi kejanggalan surat keterangan perawatan medis pada kasus pesta sabu di Tanjung, Tabalong.
    Dua terdakwa yang juga sipir Lapas Narkotik Tanjung, Ekat Rariu A dan Randy Kurnia mendapat vonis 'ringan' karena ada alat bukti yakni berupa surat medis dari Rumah Sakit Wava Husada dan Rumah Sakit Jiwa Radjiman Wedyodiningrat, Malang, Jawa Timur.
    Surat itu menerangkan keduanya pernah dirawat di dua rumah sakit itu. Namun, belakangan muncul indikasi kejanggalan surat itu karena dua orang itu tetap masuk kerja pada tanggal dia dirawat.
    Indikasi kejanggalan ini yang luput dari perhatian pilar-pilar hukum. Jaksa, dengan mudah menerima surat itu sebagai alat bukti. Padahal, jaksa merupakan pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang sebagai penuntut umum. Otomatis, sebagai pemegang amanat undang-udang, jaksa jugai pengemban amanat rakyat, sebagai pelayan masyarakat pencari keadilan. Sudah sepantasnya jaksa menjunjung tinggi hukum agar tidak diinjak-injak oleh kepentingan pribadi atau kelompok.
    Sementara pada kasus ini, hakim tidak berbuat lebih jauh dengan alasan normatif karena melihat jaksa tidak mempersoalkan surat medis tersebut.
    Para hakim berperan penting dalam memutuskan perkara. Ketika proses persidangan ada kejanggalan, menjadi tugas hakim untuk meluruskannya, didukung bukti-bukti yang kuat. Sebab, kecermatan seorang hakim kunci dari keadilan.
    Ketika dugaan kejanggalan in terpublikasi melalui media, masyarakat melihatnya seperti sebuah dagelan. Muncul dugaan ada permainan di balik sidang untuk meringankan hukuman dua sipir itu. Makin menguatkan pula dugaan bahwa hukum bisa dibolak-balik, salah jadi benar, benar jadi salah.
    Kejanggalan ini jadi preseden buruk penegakan hukum di Banua. Jika didiamkan, alamat muncul lagi kasus-kasus serupa yang menurut pandangan masyarakat awam adalah sebuah dagelan penegakkan hukum. Atau, memang hukum dengan mudah dibikin jadi dagelan asal saling menguntungkan? Mudah-mudahan tidak seperti itu. Sebab, tingkat kepercayaan masyarakat pada pilar-pilar hukum bakal makin melemah seiring melemahnya penegakkan hukum.
    Oleh karena itu, aparat kepolisian, khususnya Polres Tabalong jangan tinggal diam. Usut tuntas dugaan ketidakberesan ini. Siapa pun ketika melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan melanggar hukum, polisi harus bertindak tegas. Jangan ragu untuk menindak pelakunya, meski itu dilakukan oleh pilar hukum itu sendiri.
    Patut diingat, polisi adalah pelayan masyarakat. Ketika masyarakat melihat ada ketidakberesan hukum, polisi harus membantu masyarakat mengusut dan menggiring ke ranah hukum. Jangan malah terbalik, melayani dan melindungan orang yang memiliki kekuatan materi. Jangan sampai hukum tercederai atau ikut melemahkannya. Pada kasus ini, harapan masyarakat tingggal pada pundak kepolisian.

Rabu, 11 Mei 2011

2 Lihat Dulu Realitanya

    TIGA jam bukan waktu yang sebentar. Banyak hal bisa dilakukan dalam kurun waktu itu. Tapi akan sangat membosankan ketika harus menunggu. Apalagi jika yang ditunggu adalah keberangkatan pesawat.
    Demikian yang dialami ratusan calon penumpang beberapa maskapai penerbangan, Kamis (21/4) sore. Beberapa pesawat tidak bisa mendarat maupun take off karena landasan pacu Bandara Syamsudin Noor rusak. Perlu waktu minimal tiga jam bagi pihak PT Angkasa Pura Bandara Syamsudin Noor untuk memperbaikinya.
    Pihak PT Angkasa Pura Bandara Syamsudin Noor beralasan terjadi kerusakan di titik 1.600 meter dari awal runway 10 karena usia landasan sudah tua. Akibatnya ada bagian dari landasan yang ambles hingga 7 sentimeter.
    Landasan pacu Bandara Syamsudin Noor kerap mengalami kerusakan. Pada 24 Maret 2011, landasan pacu Bandara Syamsudin Noor juga mengalami kerusakan. Panjang landasan yang seharusnya 2.500 meter berkurang sekitar 300 meter karena aspal mengelupas. Meski penerbangan tidak terganggu, namun saat itu para calon penumpang cemas. Pun dengan pilot, harus ekstra hati-hati.
    Lucunya, bagian yang rusak itu pernah mengelupas pula pada 2004. Kepala Bidang Lalu lintas Angkutan Udara Dinas Perhubungan Kalsel Ismail Iskandar mengatakan, seharusnya tiap lima sampai enam tahun landasan diperbaiki atau dipoles.
    Lantas, kenapa tidak dilakukan? Mungkin jika pemeliharaan rutin dilakukan, kerusakan bisa diminimalisasi. Biaya perbaikan pun tidak besar. Bayangkan saja, untuk memperbaiki aspal yang terkelupas pada Maret lalu, PT Angkasa Pura harus mengeluarkan uang Rp 20 miliar. Belum diperoleh informasi berapa biaya perbaikan kerusakan di titik 1.600 meter.
    Melihat kondisi landasan pacu demikian, rasa pesimistis muncul ketika ada informasi bahwa Bandara Syamsudin Noor bakal dikembangkan menjadi berstatus internasional. Selama ini bandara yang berlokasi di Banjarbaru ini status internasionalnya hanya insidentil, yakni ketika musim haji.
    Semangat menjadikan Bandara Syamsudin Noor berstatus internasional adalah untuk mengakomodir jemaah umrah dan haji Banua yang tiap tahun terus meningkat. Bahkan untuk jemaah umrah saja mencapai 21 ribu orang tiap tahun.
    Di antara persyaratan fisik sebuah bandara berstatus internasional adalah minimal memiliki landasan pacu sepanjang 2.500 meter dan ada kantor imigrasi untuk pemeriksaan paspor, visa serta dokumen lainnya.
    Jika dalam waktu dekat Bandara Syamsudin Noor tidak bisa memenuhi itu, jemaah harus transit di bandara-bandara yang sudah berstatus internasional seperti Bandara Polonia di Medan atau Sepinggan, Balikpapan.
    Mampukan pemerintah daerah dan PT Angkasa Pura mewujudkannya dalam waktu dekat? Kalau melihat pengelolaan bandara seperti sekarang, sepertinya sulit terwujud. Belum bersatus internasional saja landasan pacu masih sering rusak, apalagi jika bersatus internasional. Pesawat berbadan besar bakal sering 'menghantam' landasan pacu.
    Belum lagi fasilitas penunjang macam taxi way (jalan penghubung antara landasan pacu dengan apron), kapasitas apron, hanggar, terminal penumpang dan lainnya harus standar internasional. Butuh dana yang tidak sedikit. Perbaikan Maret lalu saja menelan biaya Rp 20 miliar apalagi untuk melengkapi fasilitas itu berstandar internasional.
    Bukan untuk melemahkan semangat memberi kenyamanan bagi jemaah umrah dan haji. Bukan pula ingin melemahkan semangat meningkatkan pelayanan pada penumpang pesawat asal Kalsel. Tapi, lihat dulu realitanya, baru melakukan perencanaan. Jangan sampai rencana kurang matang, kemudian semangat yang 'luhur' itu putus di tengah jalan lantaran pengelolaan bandara amburadul. *

My Blog List

 

Coretan Royan Naimi Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates