Kamis, 14 Juli 2011

0 Dagelan Hukum

    PENEGAKAN hukum menjadi harapan masyarakat. Semua orang diperlakukan sama di mata hukum. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga agar hukum itu ditegakkan dengan benar.
    Walaupun jadi tanggung jawab bersama, tapi pilar-pilar hukum adalah ujung tombak pelaksananya. Hakim, jaksa, polisi dan pengacara berada dalam satu lingkaran hukum tak terpisahkan. Ketika salah satu berjalan di luar lingkaran, maka lemahlah hukum itu.
    Ada banyak kasus yang menunjukkan hukum itu melemah, mulai dari level nasional sampai ke tingkat daerah. Salah satu contoh melemahnya hukum adalah indikasi kejanggalan surat keterangan perawatan medis pada kasus pesta sabu di Tanjung, Tabalong.
    Dua terdakwa yang juga sipir Lapas Narkotik Tanjung, Ekat Rariu A dan Randy Kurnia mendapat vonis 'ringan' karena ada alat bukti yakni berupa surat medis dari Rumah Sakit Wava Husada dan Rumah Sakit Jiwa Radjiman Wedyodiningrat, Malang, Jawa Timur.
    Surat itu menerangkan keduanya pernah dirawat di dua rumah sakit itu. Namun, belakangan muncul indikasi kejanggalan surat itu karena dua orang itu tetap masuk kerja pada tanggal dia dirawat.
    Indikasi kejanggalan ini yang luput dari perhatian pilar-pilar hukum. Jaksa, dengan mudah menerima surat itu sebagai alat bukti. Padahal, jaksa merupakan pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang sebagai penuntut umum. Otomatis, sebagai pemegang amanat undang-udang, jaksa jugai pengemban amanat rakyat, sebagai pelayan masyarakat pencari keadilan. Sudah sepantasnya jaksa menjunjung tinggi hukum agar tidak diinjak-injak oleh kepentingan pribadi atau kelompok.
    Sementara pada kasus ini, hakim tidak berbuat lebih jauh dengan alasan normatif karena melihat jaksa tidak mempersoalkan surat medis tersebut.
    Para hakim berperan penting dalam memutuskan perkara. Ketika proses persidangan ada kejanggalan, menjadi tugas hakim untuk meluruskannya, didukung bukti-bukti yang kuat. Sebab, kecermatan seorang hakim kunci dari keadilan.
    Ketika dugaan kejanggalan in terpublikasi melalui media, masyarakat melihatnya seperti sebuah dagelan. Muncul dugaan ada permainan di balik sidang untuk meringankan hukuman dua sipir itu. Makin menguatkan pula dugaan bahwa hukum bisa dibolak-balik, salah jadi benar, benar jadi salah.
    Kejanggalan ini jadi preseden buruk penegakan hukum di Banua. Jika didiamkan, alamat muncul lagi kasus-kasus serupa yang menurut pandangan masyarakat awam adalah sebuah dagelan penegakkan hukum. Atau, memang hukum dengan mudah dibikin jadi dagelan asal saling menguntungkan? Mudah-mudahan tidak seperti itu. Sebab, tingkat kepercayaan masyarakat pada pilar-pilar hukum bakal makin melemah seiring melemahnya penegakkan hukum.
    Oleh karena itu, aparat kepolisian, khususnya Polres Tabalong jangan tinggal diam. Usut tuntas dugaan ketidakberesan ini. Siapa pun ketika melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan melanggar hukum, polisi harus bertindak tegas. Jangan ragu untuk menindak pelakunya, meski itu dilakukan oleh pilar hukum itu sendiri.
    Patut diingat, polisi adalah pelayan masyarakat. Ketika masyarakat melihat ada ketidakberesan hukum, polisi harus membantu masyarakat mengusut dan menggiring ke ranah hukum. Jangan malah terbalik, melayani dan melindungan orang yang memiliki kekuatan materi. Jangan sampai hukum tercederai atau ikut melemahkannya. Pada kasus ini, harapan masyarakat tingggal pada pundak kepolisian.

0 komentar:

My Blog List

 

Coretan Royan Naimi Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates