Iseng-iseng aku bongkar lemari di kamar. Terselip di pojokan laci dua benda mungil yang selama bertahun-tahun menemani tapi beda generasi. Sebuah Starko alias pager dan handphone Siemens A 55. Sungguh luar biasa. Syaraf-syaraf di otak seperti berdenyut membuka pintu ingatan dan terserabut lah informasi-informasi yang sudah sangat lama tersimpan di otak.
Sungguh luar biasa. Dua benda mungil itu dulu pernah bertahun-tahun menemani kerjaku. Duluuuuuuu sekali, ketika handphone masih di angan-angan, ketika koneksi internel belum sehebat sekarang, pager jadi alat komunikasi nomor wahid. Walaupun telepon waktu itu sudah ada, tapi pager adalah alat komunikasi pertama di masanya yang bersifat mobile.
Pager merupakan perpaduan dari perkembangan teknologi komunikasi dengan teknologi informasi. Pager adalah media penerima pesan yang portable yang bekerja berdasar prinsip kode signal radio yang ditransmisikan melalui suatu provider. Amerika sudah mengenal pager atau beeper sejak 1921. Indonesia baru mengenalnya pada 1990.
Cara kerjanya kalo mau mengirim pesan cukup telepon operator sebutkan isi pesan dan pengirimnya dan nomor pager tujuan. Tunggu beberapa detik, pesan pun sampai ke nomor pager tujuan. Yang agak sulit kita harus punya catatan tersendiri nomor pager tujuan. Sebab tidak semua pager ada fasilitas memori.
Jadi, memang agak ribet. Selain punya pager kita juga harus dekat dengan telepon umum untuk mengirim pesan balasan atau menelpon sang pengirim pesan plus jangan lupa notes berisi catatan nomor pager dan nomor telepon.
Tapi terlepas dari keribetan yang saat itu tak begitu terasa (soalnya waktu itu gaya banget kalo punya pager...hehehe) banyak kenangan saat menggunakan pager. ID pagerku waktu itu 1206. Semua wartawan BPost Group punya pager dengan ID masing-masing (sebenanrya bukan pager pribadi, tapi kantor yg berlangganan, kita cuma makai doang).
Kenangan paling asyik adalah saat tugas di desk kriminal koran Metro Banjar. Waktu itu pos tugas di RS Islam, RS Suaka Insan, RSUD Ulin, Poltabes dan Polsekta Banjarmasin Timur. Pager jadi benda yg sangat bermanfaat untuk mencari berita, terutama yang bersumber dari rumah sakit.
Informan dari rumah sakti yang biasa mengirim pesan. Sehari bisa tiga sampai lima kali. Tapi jeleknya, informasi itu tidak gratis. Harus ada pengganti uang lelah mereka menelpon. Awalnya tak pikir panjang, tiap pager berbunyi langsung dah aku meluncur ke rumah sakit. Ketemu sang informan Rp 5000 melayang. Sehari tiga kali Rp 5000x3= Rp 15 ribu.
Awalnya mereka (jumlah informan tidak cuma satu) jadi sumber yang paten. Waktu itu persaingan koran di desk kriminal cukup tinggi. Paling anti kalo bagi-bagi informasi dengan wartawan dari media lain. Istilahnya kalo sukses membobol temen yang tidak tahu informasi, rasanya hati ini sangat puas.
Rp 5000 sekali pesan rasanya sudah cukup banyak pada tahun 2000-an. Tapi belakangan yang pakai pager bukan hanya kami. Media lain juga demikian,. Dan mereka juga berani membayar lebih untuk informasi. Lambat laun persaingan jadi tak sehat dan yang untung informan...hahahaha.
Saat masih asyik-asyiknya memakai pager, tiba-tiba muncul handphone. Waktu itu harganya masih sangat mahal. kartu perdana Simpati ku pertama beli Rp 400 ribu. Teman ada yang beli Rp 1,5 juta. Gila banget.
Handphone pertamaku Nokia 3310. Waktu itu rasanya keren banget karena di kantor masih belum byk yg pakai handphone. Siemens A55 ini kalo tak salah handphone keduaku. Masih belum warna, tapi nada deringnya kecang dan anti banting alias enggak rusak kalo dibanting. Pakai si emen ini juga bentar, muncul lagi handphone warna, muncul handphone dengan nada dering mp3, muncul HP berkamera, muncul 3G dsb. Teknologi selalu melakukan lompatan-lompatan intelektual jika sudah mencapai titik masimal. Sementara manusia berjalan seiring deret ukur.
Sungguh luar biasa. Dua benda mungil itu dulu pernah bertahun-tahun menemani kerjaku. Duluuuuuuu sekali, ketika handphone masih di angan-angan, ketika koneksi internel belum sehebat sekarang, pager jadi alat komunikasi nomor wahid. Walaupun telepon waktu itu sudah ada, tapi pager adalah alat komunikasi pertama di masanya yang bersifat mobile.
Pager merupakan perpaduan dari perkembangan teknologi komunikasi dengan teknologi informasi. Pager adalah media penerima pesan yang portable yang bekerja berdasar prinsip kode signal radio yang ditransmisikan melalui suatu provider. Amerika sudah mengenal pager atau beeper sejak 1921. Indonesia baru mengenalnya pada 1990.
Cara kerjanya kalo mau mengirim pesan cukup telepon operator sebutkan isi pesan dan pengirimnya dan nomor pager tujuan. Tunggu beberapa detik, pesan pun sampai ke nomor pager tujuan. Yang agak sulit kita harus punya catatan tersendiri nomor pager tujuan. Sebab tidak semua pager ada fasilitas memori.
Jadi, memang agak ribet. Selain punya pager kita juga harus dekat dengan telepon umum untuk mengirim pesan balasan atau menelpon sang pengirim pesan plus jangan lupa notes berisi catatan nomor pager dan nomor telepon.
Tapi terlepas dari keribetan yang saat itu tak begitu terasa (soalnya waktu itu gaya banget kalo punya pager...hehehe) banyak kenangan saat menggunakan pager. ID pagerku waktu itu 1206. Semua wartawan BPost Group punya pager dengan ID masing-masing (sebenanrya bukan pager pribadi, tapi kantor yg berlangganan, kita cuma makai doang).
Kenangan paling asyik adalah saat tugas di desk kriminal koran Metro Banjar. Waktu itu pos tugas di RS Islam, RS Suaka Insan, RSUD Ulin, Poltabes dan Polsekta Banjarmasin Timur. Pager jadi benda yg sangat bermanfaat untuk mencari berita, terutama yang bersumber dari rumah sakit.
Informan dari rumah sakti yang biasa mengirim pesan. Sehari bisa tiga sampai lima kali. Tapi jeleknya, informasi itu tidak gratis. Harus ada pengganti uang lelah mereka menelpon. Awalnya tak pikir panjang, tiap pager berbunyi langsung dah aku meluncur ke rumah sakit. Ketemu sang informan Rp 5000 melayang. Sehari tiga kali Rp 5000x3= Rp 15 ribu.
Awalnya mereka (jumlah informan tidak cuma satu) jadi sumber yang paten. Waktu itu persaingan koran di desk kriminal cukup tinggi. Paling anti kalo bagi-bagi informasi dengan wartawan dari media lain. Istilahnya kalo sukses membobol temen yang tidak tahu informasi, rasanya hati ini sangat puas.
Rp 5000 sekali pesan rasanya sudah cukup banyak pada tahun 2000-an. Tapi belakangan yang pakai pager bukan hanya kami. Media lain juga demikian,. Dan mereka juga berani membayar lebih untuk informasi. Lambat laun persaingan jadi tak sehat dan yang untung informan...hahahaha.
Saat masih asyik-asyiknya memakai pager, tiba-tiba muncul handphone. Waktu itu harganya masih sangat mahal. kartu perdana Simpati ku pertama beli Rp 400 ribu. Teman ada yang beli Rp 1,5 juta. Gila banget.
Handphone pertamaku Nokia 3310. Waktu itu rasanya keren banget karena di kantor masih belum byk yg pakai handphone. Siemens A55 ini kalo tak salah handphone keduaku. Masih belum warna, tapi nada deringnya kecang dan anti banting alias enggak rusak kalo dibanting. Pakai si emen ini juga bentar, muncul lagi handphone warna, muncul handphone dengan nada dering mp3, muncul HP berkamera, muncul 3G dsb. Teknologi selalu melakukan lompatan-lompatan intelektual jika sudah mencapai titik masimal. Sementara manusia berjalan seiring deret ukur.