SUATU sore saya makan di warung tenda di Jalan A Yani. Jalan negara ini sejak kilometer 1 sampai kilometer 6 berubah jadi tempat wisata kuliner. Pilihannya makanan cukup banyak, tinggal mencocokkan dengan selera masing-masing.
Begitu mau menyantap makanan, dua pemuda masuk ke dalam warung tenda. Salah seorang bertubuh kurus menenteng gitar warna coklat tua ditempeli beragam stiker. Satu lagi posturnya agak gemuk. Jika ada yang meladeni, saya berani bertaruh, kalimat apa yang meluncur dari mulut dua pemuda itu. "Permisi om, bu," kata mereka.
Sampai di situ saya masih tidak mempermasalahkan, walaupun saya belum sempat menyuap makanan ke mulut. Tapi ketika petikan gitar bercampur dengan suara dari pemuda bertubuh gemuk, indra dengar terasa gatal. Sungguh (maaf) fals dan saya sama sekali tidak merasa terhibur.
Belum selesai lagu dinyanyikan, mereka sudah mendekati pengunjung warung sembari menyorongkan topi yang terbalik. semua orang tentu faham maksudnya. Mereka minta kerelaan hati para pengunjung warung untuk memberi barang Rp 500 atau Rp 1.000.
Baru lima menit dua pengamen itu berlalu, muncul lagi dua pemuda dengan profesi sama. Sekilas saya perhatikan, gitar yang dipakai sama dengan dua pengamen terdahulu.
Setali tiga uang dengan dua pengamen terdahulu, skill dua pemuda itu bermain gitar atau kemampuan olah vokal mereka sangat jauh dari kata bagus. Sama juga seperti dua pengamen terdahulu, belum lagi lagu selesai dinyanyikan, topi terbalik kembali beredar.
Malah kalau ditarik garis persamaan, sangat jelas kelihatan. Mereka menjual kenestapaan, kemiskinan, wajah lusuh dan berharap iba orang lain.
Jadi ingat saat bertugas di Bandung, Jawa Barat, saya diajak teman dari Tribun Jabar menyantap sate di Jalan Asia Afrika. Saat itu kami bertiga didatangi tiga pemuda. Dua di antaranya memegang gitar. Penampilannya bersih, seperti anak gaul. Dengan sopan, mereka minta izin untuk menyanyi.
Tak berapa lama meluncur suara merdu dari salah seorang mereka diiringi alunan gitar. Lagunya tidak asal-asalan. Mereka membawakan lagu dari band asal Inggris, Muse kalau tidak salah judulnya Falling Away With You. Nikmat sekali rasanya bersantap sembari mendengarkan lagu yang enak. Uang pun dengan mudah keluar dari kantong celana pengunjung tempat makan itu.
Saya menghayalkan pengamen-pengamen di Banjarmasin bisa seperti pengamen di Bandung. Bandung pernah punya seniman Harry Rusli yang mau mendidik pengamen agar tidak asal cuap. Mungkin di Banua ini juga ada yang bisa seperti Kang Harry. Atau pemko yang mengambil peran? Jangan biarkan mereka hanya menjual kemiskinan. Biar saja orang lain yang menjual kemiskinan. Pengamen bisa menjual skill kok!
Begitu mau menyantap makanan, dua pemuda masuk ke dalam warung tenda. Salah seorang bertubuh kurus menenteng gitar warna coklat tua ditempeli beragam stiker. Satu lagi posturnya agak gemuk. Jika ada yang meladeni, saya berani bertaruh, kalimat apa yang meluncur dari mulut dua pemuda itu. "Permisi om, bu," kata mereka.
Sampai di situ saya masih tidak mempermasalahkan, walaupun saya belum sempat menyuap makanan ke mulut. Tapi ketika petikan gitar bercampur dengan suara dari pemuda bertubuh gemuk, indra dengar terasa gatal. Sungguh (maaf) fals dan saya sama sekali tidak merasa terhibur.
Belum selesai lagu dinyanyikan, mereka sudah mendekati pengunjung warung sembari menyorongkan topi yang terbalik. semua orang tentu faham maksudnya. Mereka minta kerelaan hati para pengunjung warung untuk memberi barang Rp 500 atau Rp 1.000.
Baru lima menit dua pengamen itu berlalu, muncul lagi dua pemuda dengan profesi sama. Sekilas saya perhatikan, gitar yang dipakai sama dengan dua pengamen terdahulu.
Setali tiga uang dengan dua pengamen terdahulu, skill dua pemuda itu bermain gitar atau kemampuan olah vokal mereka sangat jauh dari kata bagus. Sama juga seperti dua pengamen terdahulu, belum lagi lagu selesai dinyanyikan, topi terbalik kembali beredar.
Malah kalau ditarik garis persamaan, sangat jelas kelihatan. Mereka menjual kenestapaan, kemiskinan, wajah lusuh dan berharap iba orang lain.
Jadi ingat saat bertugas di Bandung, Jawa Barat, saya diajak teman dari Tribun Jabar menyantap sate di Jalan Asia Afrika. Saat itu kami bertiga didatangi tiga pemuda. Dua di antaranya memegang gitar. Penampilannya bersih, seperti anak gaul. Dengan sopan, mereka minta izin untuk menyanyi.
Tak berapa lama meluncur suara merdu dari salah seorang mereka diiringi alunan gitar. Lagunya tidak asal-asalan. Mereka membawakan lagu dari band asal Inggris, Muse kalau tidak salah judulnya Falling Away With You. Nikmat sekali rasanya bersantap sembari mendengarkan lagu yang enak. Uang pun dengan mudah keluar dari kantong celana pengunjung tempat makan itu.
Saya menghayalkan pengamen-pengamen di Banjarmasin bisa seperti pengamen di Bandung. Bandung pernah punya seniman Harry Rusli yang mau mendidik pengamen agar tidak asal cuap. Mungkin di Banua ini juga ada yang bisa seperti Kang Harry. Atau pemko yang mengambil peran? Jangan biarkan mereka hanya menjual kemiskinan. Biar saja orang lain yang menjual kemiskinan. Pengamen bisa menjual skill kok!