PADA satu kesempatan tampil di suatu acara di televisi, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan jangan coba-coba melawan arus kekuatan rakyat. Menurut dia, dalam sejarah, orang yang melawan kekuatan rakyat itu digilas. Tidak ada yang selamat.
Peran rakyat dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi memang sangat vital. Rakyat tidak lagi bisa diabaikan, seperti yang dilakukan para diktator atau negara yang menganut paham demokrasi terpimpin.
Rakyat adalah salah satu pilar demokrasi yang direpresentasikan melalui lembaga legislatif. Didukung pilar-pilar lain seperti eksekutif, yudikatif dan pers, maka demokrasi dapat berjalan secara elegan.
Tapi, manakala aspirasi rakyat tersumbat, tak tersalurkan melalui legislatif, rakyat bisa bertindak sendiri. Maka muncul lah gerakan rakyat, people power bahkan revolusi.
Indonesia punya cukup banyak pengalaman melibatkan kekuatan rakyat baik yang dipolitisir atau muncul karena rakyat ingin melawan kekuasaan absolut.
Ketika Presiden RI pertama Soekarno mulai membawa Indonesia ke arah demokrasi terpimpin, rakyat dimotori mahasiswa berunjuk rasa. militer pun 'bersimpati' kepada rakyat yang kesusahan. Pada akhirnya Soekarno menyerahkan jabatan kepada Soeharto.
Demikian pula, saat rakyat tak lagi percaya atas kepemimpinan dan kekuasaan Soeharto selama puluhan tahun, presiden kedua Indonesia ini lengser pada 1998.
Presiden ketiga Abdurrahman Wahid, merasakan besarnya kekuatan rakyat meskipun dalam skala lebih kecil. Ketika Gus Dur sudah tidak sejalan dengan wakil rakyat, dia pun diturunkan dari jabatannya, diganti Megawati Soekarno Putri.
Kekuatan rakyat tidak akan pernah mati. Kekuatan ini akan bangkit ketika rakyat merasa ada ketidakberesan pada eksekutif, legislataif dan yudikatif. Apalagi jika didukung pers, kekuatan ini tak terkalahkan.
Apakah people power dalam skala yang besar kembali berulang di Indonesia? Apalagi rasa ketidakpuasan, ketidakadilan, ketertindasan dan kebencian atas konspirasi dan kolusi oknum pemerintahan menyatukan rakyat.
Mudah-mudahan saja itu tidak terjadi. Harga yang harus dibayar Indonesia untuk gerakan rakyat tidaklah sedikit. Sangat riskan bagi Indonesia harus mengulang peristiwa yang sama dan membuat roda pembangunan terhambat akibat konstelasi politik yang tidak stabil.
Seharusnya pemerintah bisa belajar dari pendahulunya agar jangan sampai jatuh ke lubang yang sama. Tanda-tanda rakyat tidak puas, tidak percaya dan merasa tidak diperlakukan secara adil itu sudah tampak di hadapan mata.
Coba lihat tekanan rakyat ke pemerintah ketika pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah menjadi pesakitan, gara-gara dituduh bertindak di luar kewenangan. Dukungan pada keduanya mengalir tiada henti, sampai mereka benar-benar lepas dari masalah.
Demikian pula ketika seluruh elemen bangsa bersatu memperingati hari antikorupsi sedunia pada 9 Desember lalu. Tekanan rakyat agar kasus Bank Century diusut juga tak kalah hebat.
Akumulasi kekesalan dan ketidakpuasan bisa merubah people power menjadi sebuah revolusi. Kita tentu tidak ingin sejarah negeri ini mencatat pergantian kekuasaan harus dengan cara revolusi. Seperti yang dialami Iran saat menjatuhkan rezim Syah Iran, kejatuhan komunis di Uni Soviet atau digulingkankannya Ferdinand Marcos dari pimpinan tertinggi Filipina.
Harga yang harus dibayar rakyat untuk people power sangat mahal, apalagi harus melalui revolusi. Saatnya pemerintah mendengarkan rakyat.
Peran rakyat dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi memang sangat vital. Rakyat tidak lagi bisa diabaikan, seperti yang dilakukan para diktator atau negara yang menganut paham demokrasi terpimpin.
Rakyat adalah salah satu pilar demokrasi yang direpresentasikan melalui lembaga legislatif. Didukung pilar-pilar lain seperti eksekutif, yudikatif dan pers, maka demokrasi dapat berjalan secara elegan.
Tapi, manakala aspirasi rakyat tersumbat, tak tersalurkan melalui legislatif, rakyat bisa bertindak sendiri. Maka muncul lah gerakan rakyat, people power bahkan revolusi.
Indonesia punya cukup banyak pengalaman melibatkan kekuatan rakyat baik yang dipolitisir atau muncul karena rakyat ingin melawan kekuasaan absolut.
Ketika Presiden RI pertama Soekarno mulai membawa Indonesia ke arah demokrasi terpimpin, rakyat dimotori mahasiswa berunjuk rasa. militer pun 'bersimpati' kepada rakyat yang kesusahan. Pada akhirnya Soekarno menyerahkan jabatan kepada Soeharto.
Demikian pula, saat rakyat tak lagi percaya atas kepemimpinan dan kekuasaan Soeharto selama puluhan tahun, presiden kedua Indonesia ini lengser pada 1998.
Presiden ketiga Abdurrahman Wahid, merasakan besarnya kekuatan rakyat meskipun dalam skala lebih kecil. Ketika Gus Dur sudah tidak sejalan dengan wakil rakyat, dia pun diturunkan dari jabatannya, diganti Megawati Soekarno Putri.
Kekuatan rakyat tidak akan pernah mati. Kekuatan ini akan bangkit ketika rakyat merasa ada ketidakberesan pada eksekutif, legislataif dan yudikatif. Apalagi jika didukung pers, kekuatan ini tak terkalahkan.
Apakah people power dalam skala yang besar kembali berulang di Indonesia? Apalagi rasa ketidakpuasan, ketidakadilan, ketertindasan dan kebencian atas konspirasi dan kolusi oknum pemerintahan menyatukan rakyat.
Mudah-mudahan saja itu tidak terjadi. Harga yang harus dibayar Indonesia untuk gerakan rakyat tidaklah sedikit. Sangat riskan bagi Indonesia harus mengulang peristiwa yang sama dan membuat roda pembangunan terhambat akibat konstelasi politik yang tidak stabil.
Seharusnya pemerintah bisa belajar dari pendahulunya agar jangan sampai jatuh ke lubang yang sama. Tanda-tanda rakyat tidak puas, tidak percaya dan merasa tidak diperlakukan secara adil itu sudah tampak di hadapan mata.
Coba lihat tekanan rakyat ke pemerintah ketika pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah menjadi pesakitan, gara-gara dituduh bertindak di luar kewenangan. Dukungan pada keduanya mengalir tiada henti, sampai mereka benar-benar lepas dari masalah.
Demikian pula ketika seluruh elemen bangsa bersatu memperingati hari antikorupsi sedunia pada 9 Desember lalu. Tekanan rakyat agar kasus Bank Century diusut juga tak kalah hebat.
Akumulasi kekesalan dan ketidakpuasan bisa merubah people power menjadi sebuah revolusi. Kita tentu tidak ingin sejarah negeri ini mencatat pergantian kekuasaan harus dengan cara revolusi. Seperti yang dialami Iran saat menjatuhkan rezim Syah Iran, kejatuhan komunis di Uni Soviet atau digulingkankannya Ferdinand Marcos dari pimpinan tertinggi Filipina.
Harga yang harus dibayar rakyat untuk people power sangat mahal, apalagi harus melalui revolusi. Saatnya pemerintah mendengarkan rakyat.