Kereta kuda hilir mudik melalui jalan tanah. Jika kemarau sedikit berdebu, tapi tidak ada polusi. Saat musim hujan jalan berubah becek, tapi masih tetap bisa dijalani. Malah, setelah hujan reda, udara sangat segar. Cocok buat jalan-jalan sore.
Di sungai ramai anak-anak mandi sambil bermain. Sementara ibu-ibu mereka menimba air ke dalam bak untuk persedian air minum. Jamban berderet rapi di pinggir sungai yang masih alami. Sungai seakan jadi rumah kedua. Sungguh mengherankan, mandi, cuci, kakus bisa dilakukan di satu tempat. Tapi tak seorang pun yang terkena diare.
Saat siang berubah malam, suasana terasa romantis. Dari rumah-rumah yang mungil terlihat cahaya temaram dari suluh terbuat dari batok kelapa. Bahan bakarnya alami dari minyak kayu damar. Bau harum minyak damar menyengat hidung.
Tak ada istilah krisis energi. Tiada yang merasa kekurangan air bersih. Tidak perlu repot antre untuk mendapatkan damar. Jalan becek atau berdebu jadi sesuatu yang lumra karena belum ada yang mengenal aspal.
Tiba-tiba saya tersadar. Teriakan seorang teman yang merasa terganggu konsentrasi mengetiknya gara-gara aliran listrik padam, membawa saya kembali ke masa kini.
Buru-buru saya beranjak ke toilet untuk cuci muka dan buang air kecil. Kantong kemih sudah terasa penuh. Saatnya dikuras kalau tidak ingin kena penyakit gangguan ginjal.
Tapi saya mendapati toilet tidak ada air. Bau pesing menyengat hidung. Kran wastafel tidak mengeluarkan setetes pun air. Syaraf di otak kecil saya memberi alarm peringatan. Hari ini aliran air leding sedang tidak lancar. Kabarnya ada perbaikan pipa.
Cuci muka saya batalkan. Setengah berlari saya masuk kembali ke ruang kerja redaksi. Tapi bukan meja kerja yang saya tuju, melainkan jendela di pojok ruangan.
Pandangan saya tertuju pada antrean kendaraan roda dua dan empat untuk mendapatkan bahan bakar di sebuah SPBU. Barulah saat itu saya merasa benar-benar sadar. Saya hidup di tahun 2007 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Tak berapa lama hujan mengguyur deras. Sebagian jalan pun tergenang air.