MINGGU 9 Oktober 2007 lalu, merupakan hari anti korupsi se-dunia. Namun gaung peringatannya berlalu begitu saja. Paling-paling demo di beberapa tempat yang dilakukan elemen masyarakat.
Tidak ada greget politik yang menggairahkan usaha pemberantasan korupsi. Tidak ada aksi bersama secara masif untuk menunjukkan Indonesia tengah berperang melawan segala bentuk korupsi.
Tidak hanya di Jakarta sebagai pusat negara, di daerah juga demikian. Di Kalimantan Selatan, institusi hukum seperti kejaksaan cuma melakukan aksi humanis dengan membagi-bagikan bunga kepada pengendara dan sejumlah instansi.
Padahal, korupsi di negeri ini sudah sangat parah. Indonesia menempati peringkat kelima negara terkorup di dunia dari 146 negara. Tentu bukan sebuah prestasi yang membanggakan.
Perjuangan untuk memberantas korupsi sudah dimulai sejak 2003, di Merida Meksiko saat digelar Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Anti Korupsi.
Artinya, korupsi sudah dianggap penyakit dunia yang harus dihancurkan, dicegah dan diberantas oleh semua negara dan warga dunia termasuk Indonesia.
Bahkan negara-negara yang terhitung bersih dari korupsi, negara-negara dimana sistim integrasi nasional sudah terbentuk lama sehingga korupsi tidak lagi punya tempat, juga sangat peduli dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Tapi bagaimana fakta sebenarnya usaha pemberantasan korupsi di Indonesia? Jika masih berada pada peringkat lima besar negara terkorup, berarti korupsi masih jadi primadona di negeri ini.
Pemberantasan korupsi mungkin masih sebatas slogan kosong dituliskan di spanduk lalu dibentangkan. Hanya dibaca tapi usaha pemberantasan korupsi tidak dilaksanakan. Korupsi masih sekadar bahan bacaan bukan sebagai larangan yang harus ditaati.
Berapa banyak kasus tindak pidana korupsi terdakwanya bisa lepas dari jerat hukum begitu tiba vonis hakim. Persidangan seperti sebuah dagelan manakala proses penyelidikan, penyidikan sampai persidangan yang makan waktu lama seakan tak berarti ketika terdakwanya bebas.
Semakin banyak koruptor bebas dari hukum, semakin rendah tingkat kepercayaan, masyarakat terhadap peradilan di Indonesia.
Padahal, korupsi adalah kejahatan luar biasa. Pemerintah Indonesia sampai merasa perlu membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeranginya, selain melalui peradilan umum.
KPK seakan jadi pelepas dahaga di tengah usaha pemberantasan korupsi di Indonesia yang stagnan. Saat peradilan umum tidak bisa menjerat para koruptor, KPK dengan kewenangannya mampu mengungkap kasus korupsi besar. Korupsi di KPU dibongkar. Gubernur, bupati atau mantan kepala daerah yang korup diseret ke meja peradilan tindak pidana korupsi.
Sayang, usaha KPK untuk membangun kepercayaan publik bahwa masih ada institusi yang bersih dan tidak korup serta bisa berbuat positif untuk pemberantasan korupsi, menjadi lemah belakangan ini.
Komisi hukum DPR memilih Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Antasari Azhar sebagai Ketua KPK menggantikan Taufiqurahman Ruki.
Banyak pihak meragukan kapabilitas Antasari Azhar sebagai Ketua KPK karena track record-nya dinilai 'abu-abu'. Beberapa LSM yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), termasuk ICW, menilai ada dukungan kuat Komisi III terhadap Antasari melalui perbedaan perlakuan selama uji kelayakan dan kepatutan.
Jika itu benar adanya, sungguh disayangkan, lembaga yang dibangun dengan tujuan mulia, dimanfaatkan untuk kepentingan politik sekelompok orang. Sepertinya, kita tidak menjauh dari korupsi, kita memilih hidup bersamanya.
Kamis, 13 Desember 2007
0 Korupsi Hanya Bacaan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar