ADA satu berita menarik pada sebuah situs pemberitaan berbahasa Indonesia milik anak negeri. Pada berita yang terdata awal Januari 2012 itu, disebutkan, Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Spanyol, Adiyatwidi Adiwoso Asmady, melancarkan diplomasi gastronomi.
Dia menggelar Pekan Gastronomi Indonesia di Madrid. Para duta besar negara sahabat pun diundang mencicipi kuliner Indonesia yang disajikan di Hotel Intercontinental, Madrid, Spanyol. Demi memuluskan perhelatan, dua juru masak Indonesia dari Intercontinental Jakarta, Jenal Abidin dan Dedih Syamsudin didatangkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi kreatif. Keduanya dibantu chef dari Spanyol Jose Luque dan Juan Carlos De la tore untuk menyajikan berbagai kuliner Indonesia.
Kemudian, pada berita itu disebutkan, budaya kuliner dari Indonesia yang ditampilkan dengan keeksotikannya serta bahan-bahan yang berkualitas dengan cita rasa yang tinggi, berhasil menjadikan gastronomi sebagai salah satu diplomasi Indonesia di Spanyol.
Melihat dan membaca berita itu, saya menarik kesimpulan, Indonesia sukses berdiplomasi di Spanyol dengan menanamkan citra melalui keberagaman kuliner yang menggugah selera. Sampai pada sukses itu, kita patut berbangga. Melalui kuliner, Indonesia bisa dikenal dunia. Dan memang, cita rasa masakan Nusantara tak perlu diragukan lagi. Apalagi mengenai keberagamannya. Tiap daerah memiliki ciri khas tersendiri.
Dan seperti salah satu pengertian gastronomi yakni mempelajari berbagai komponen budaya dengan makanan sebagai pusatnya, maka secara tak langsung diplomasi gastromi mengenalkan budaya Indonesia. Menunjukkan karakter bangsa Indonesia yang berbudaya tinggi, warisan dari leluhur.
Namun, sukses diplomasi gastronomi ini berbanding terbalik dengan kondisi bahan baku kuliner Nusantara. Sudah jadi rahasia umum, harga bahan pangan di Indonesia tak stabil. Padahal, Indonesia kaya dengan sumber daya alam yang melimpah.
Faktanya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) setidaknya Indonesia masih mengimpor tujuh bahan pangan yang juga dihasilkan oleh petani negeri ini. Seperti kentang, singkong, biji gandum dan meslim, tepung terigu, jagung, beras dan kedelai.
Bayangkan, singkong, beras dan kedelai sangat familiar bagi kita. Indonesia bangetlah. Ternyata negeri ini belum mapu swasembada. Bahkan untuk kedelai, kondisinya sangat parah. Indonesia masih mengimpor 45 persen untuk kebutuhan kedelai dalam negeri. Ada lagi, 50 persen kebutuhan garam dalam negeri juga diimpor. Bahkan 70 persen kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi melalui impor.
Kondisi seperti tersebut menjadikan diplomasi gastronomi ala Kedubes Indonesia di Spanyol bagai tak ada implikasinya. Kalau mau lebih dibesarkan, kedaulatan negara dan rakyat Indonesia patut dipertanyakan. Kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan itu sudah hilang. Berganti libelarisasi sektor pertanian dan pangan, dimulai masuknya International Monetary Fund (IMF) pada 1998 dan perdagangan bebas WTO. Indonesia sudah jadi bagian dari liberalisasi itu. (*)
0 komentar:
Posting Komentar