Jumat, 23 November 2007

0 Tindak Tegas Penyeleweng

    BEBERAPA hari lalu, solar seakan hilang dari Kalimantan Selatan. Ratusan truk rela antre sejak subuh di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang ada di Banjarbaru dan Kabupaten Banjar demi mendapatkan bahan bakar yang bersumber dari fosil itu.
   
Di SPBU-SPBU di Banjarmasin memang tidak terjadi antrean panjang kendaraan roda empat berbahan bakar solar. Ini bukan berarti solar mudah didapatkan. Melainkan karena hampir di semua SPBU solar memang tidak ada. Terbukti dari tulisan di beberapa SPBU yang menyebutkan solar habis atau solar belum datang.

   
Namun, Kepala Cabang Pemasaran Pertamina Banjarmasin UPms VI, Budi Setio Hartono membantah kalau solar di Kalsel langka. Menurutnya, Pertamina sengaja membatasi pembelian solar untuk mengendalikan meningkatnya permintaan solar oleh SPBU.

   
Ada dugaan penyelewengan yang membuat Pertamina mengambil sikap seperti itu. Fakta di lapangan truk dan kendaraan roda empat lain antre untuk mendapatkan solar, sementara pasokan solar dari Pertamina ke SPBU tetap sesuai omzet rata-rata dari Januari hingga September.

   
Saat ini, pemerintah melalui Pertamina menerapkan dua kriteria harga penjualan solar. Untuk solar bersubsidi di SPBU dijual Rp 4.300 per liter. Sedangkan untuk industri Rp 7.000. Disparitas harga seperti ini tentu membuka peluang adanya penyelewengan.

   
Sampai kapan pun, jika selisih harga antara solar bersubsidi dengan solar industri besar, peluang untuk penyelewengan selalu terbuka lebar.

   
Solusi meminimalkan penyelewengan adalah dengan cara menyamakan harga bahan bakar bersubsidi dengan bahan bakar untuk industri. Paling tidak, harga bahan bakar untuk dua peruntukan itu ditetapkan tidak jauh berbeda.

   
Spekulan atau yang biasa mencari untung dari selisih harga antara yang bersubsidi dengan industri tentu tidak berani lagi main-main. Alih-alih untung malah rugi yang diperoleh.

   
Namun untuk mencapai posisi ideal seperti itu tentu tidaklah mudah. Begitu harga bahan bakar minyak massal dinaikkan, imbasnya bagi perekonomian negeri ini sangat besar. Harga kebutuhan pokok langsung meroket. Pengeluaran masyarakat bertambah besar. Ujung-ujungnya bisa memicu terjadinya inflasi.

    Apalagi dengan situasi ekonomi Indonesia yang belum benar-benar stabil, rasanya sangat sulit harga bahan bakar untuk industri dan masyarakat bisa disamakan. Daya beli mayoritas masyarakat Indonesia belum mencapai tahap itu. Subsidi masih sangat diperlukan sebelum perekonomian masyarakat benar-benar mapan.

   
Sungguh ironis, Indonesia, negeri yang kaya sumber daya alam punya masalah pelik seperti ini. Seharusnya, dengan kekayaan alam yang melimpah, terutama cadangan bahan bakar minyak yang besar, Indonesia tidak perlu repot dengan harga maupun pasokan bahan bakarnya.

   
Disparitas harga bahan bakar bersubsidi dan industri adalah upaya pemerintah untuk mencukupi kebutuhan dua pilar perekonomian negara. Kebutuhan masyarakat dan industri sama pentingnya. Ketika salah satunya merasa tidak tercukupi, perekonomian akan terganggu.

   
Gejolak kelangkaan bahan bakar minyak juga bisa memicu ketidaknyamanan di masyarakat. Konflik horizontal dapat terjadi manakala kebutuhan terhadap bahan bakar terganggu. Sementara pihak penyedia seperti Pertamina membatasi pasokannya.

   
Dalam situasi seperti ini, aparat penegak hukum harus mengambil peran. Penyelewengan apapun bentuknya adalah pelanggaran.

    Jangan biarkan pelanggaran berlarut-larut lalu menjadi suatu kebiasaan dan lambat laun menjadi lumrah. Harus ditindak dengan tegas sesuai dengan aturan yang berlaku.

   
Aturan atau regulasi buatan manusia tentu punya kelemahan. Kelemahan ini sering dimanfaatkan pihak pencari keuntungan. Tugas aparat penegak hukum untuk menutup lubang-lubang dari kelemahan aturan tersebut.

0 komentar:

My Blog List

 

Coretan Royan Naimi Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates