INDIA merupakan negara salah satu negara yang memiliki tradisi musik tertua di dunia. Referensi musik klasik India (Marga) telah dituliskan dalam kitab suci kuno dan tradisi Hindu. Berbagai jenis seruling dan alat musik yang terbuat dawai atau senar telah ada sejak zaman Peradaban Lembah Sungai Indus.
Sementara Cina, merupakan negara pertama pengumpul dan memiliki alat musik prasejarah terbanyak, diperkirakan dari 7000 sampai dengan 6600 SM.Bahkan, negeri yang memiliki peradaban tinggi sejak zaman Sebelum Masehi ini memiliki kumpulan musik tertulis dalam bahasa kuno, diperkirakan ada sejak 1400 SM! Bayangkan, saat bangsa Cina sudah mengenal notasi musik pada 1400 SM, negara Indonesia masih belum terbentuk.
Ya, Hampir tiap negara punya sejarah musik berbeda. Cina dan India telah mencatatkannnya dalam lembar peradaban mereka. Negara- negara di Eropa dan Amerika pun memiliki sejarah musiknya sendiri. Demikian pula Indonesia. Makanya, tak heran ada ungkapan musik adalah bahasa yang yang universal.
Melalui musik, bahasa formal ditanggalkan. Tak peduli beda warga negara, tapi kalau menyukai musik yang sama, maka perbedaan itu akan luruh. Dinding pembatas dan pengkotak-kotakan derajat manusia akan lenyap saat suara musik yang sama-sama disukai terdengar.
Hampir tak pernah terdengar bentrok antara pendukung musik aliran A dengan aliran B. Memang, kalau kericuhan dalam sebuah konser musik sekali dua kali bisa terjadi. Tapi biasanya lantaran sebagian kecil penggemar dari aliran musik itu sendiri yang bermasalah. Bukan bentrok antar aliran.
Di Kalsel, sampai ada istilah gepsok (digepak, langsung sodok) setiap ada hiburan musik aliran tertentu. Mencirikan penontonnya sendiri yang tidak tertib, membawa senjata tajam, minum minuman keras, berjoget semaunya sampai bersenggolan. Lalu belati 'bicara'.
Sebenarnya, tak jarang dalam satu panggung, beberapa pemusik yang mengusung aliran berbeda bisa tampil bareng. Penonton atau penggemarnya bisa saja tertib. Jadi, rusuh dalam sebuah konser musik bukan lantaran musiknya yang keras atau genre musik tertentu dianggap sebagai pemicunya. Melainkan dari penyuka musik itu sendiri.
Dan, kalau bicara suka atau tidak suka, maka berkaitan dengan sifat dari musik itu sendiri. Musik tak bisa dipaksakan. Penggemar dangdut tak bisa disuruh menyukai musik rock. Demikian pula penyuka musik pop tak mau jika dipaksa harus mendengarkan musik keroncong.
Kelihatannya memang seperti pengkotak-kotakan. Tapi, itulah kenapa musik dianggap bahasa yang universal. Keragaman yang dibingkai dalam harmoni, melodi dan ritme. (*)
Foto: hoopcity.ca
Sementara Cina, merupakan negara pertama pengumpul dan memiliki alat musik prasejarah terbanyak, diperkirakan dari 7000 sampai dengan 6600 SM.Bahkan, negeri yang memiliki peradaban tinggi sejak zaman Sebelum Masehi ini memiliki kumpulan musik tertulis dalam bahasa kuno, diperkirakan ada sejak 1400 SM! Bayangkan, saat bangsa Cina sudah mengenal notasi musik pada 1400 SM, negara Indonesia masih belum terbentuk.
Ya, Hampir tiap negara punya sejarah musik berbeda. Cina dan India telah mencatatkannnya dalam lembar peradaban mereka. Negara- negara di Eropa dan Amerika pun memiliki sejarah musiknya sendiri. Demikian pula Indonesia. Makanya, tak heran ada ungkapan musik adalah bahasa yang yang universal.
Melalui musik, bahasa formal ditanggalkan. Tak peduli beda warga negara, tapi kalau menyukai musik yang sama, maka perbedaan itu akan luruh. Dinding pembatas dan pengkotak-kotakan derajat manusia akan lenyap saat suara musik yang sama-sama disukai terdengar.
Hampir tak pernah terdengar bentrok antara pendukung musik aliran A dengan aliran B. Memang, kalau kericuhan dalam sebuah konser musik sekali dua kali bisa terjadi. Tapi biasanya lantaran sebagian kecil penggemar dari aliran musik itu sendiri yang bermasalah. Bukan bentrok antar aliran.
Di Kalsel, sampai ada istilah gepsok (digepak, langsung sodok) setiap ada hiburan musik aliran tertentu. Mencirikan penontonnya sendiri yang tidak tertib, membawa senjata tajam, minum minuman keras, berjoget semaunya sampai bersenggolan. Lalu belati 'bicara'.
Sebenarnya, tak jarang dalam satu panggung, beberapa pemusik yang mengusung aliran berbeda bisa tampil bareng. Penonton atau penggemarnya bisa saja tertib. Jadi, rusuh dalam sebuah konser musik bukan lantaran musiknya yang keras atau genre musik tertentu dianggap sebagai pemicunya. Melainkan dari penyuka musik itu sendiri.
Dan, kalau bicara suka atau tidak suka, maka berkaitan dengan sifat dari musik itu sendiri. Musik tak bisa dipaksakan. Penggemar dangdut tak bisa disuruh menyukai musik rock. Demikian pula penyuka musik pop tak mau jika dipaksa harus mendengarkan musik keroncong.
Kelihatannya memang seperti pengkotak-kotakan. Tapi, itulah kenapa musik dianggap bahasa yang universal. Keragaman yang dibingkai dalam harmoni, melodi dan ritme. (*)
Foto: hoopcity.ca
0 komentar:
Posting Komentar