TIAP orang yang bisa menulis, pasti bisa membaca. Wajar saja, di sekolah, pelajaran kedua setelah membaca adalah menulis. Namun, tidak semua orang mampu menulis dan hasil tulisannya disukai orang lain. Maka, orang-orang seperti Stephen King, Bud Garner, JK Rowling atau Andrea Hirata, adalah orang-orang yang punya kelebihan dalam mengolah kata hingga memikat banyak orang untuk membeli karyanya.
Ya, menulis bukan pekerjaan sepele. Langkah berikutnya setelah seseorang bisa membaca adalah belajar menulis. Jika membaca memerlukan otak untuk mengenal huruf, menyimpannya di dalam memori lalu huruf-huruf dirangkai menjadi kata dan kalimat, maka ketika seseorang menulis, otak bakal bekerja lebih keras.
Ada proses kreatif yang merangsang otak bekerja lebih dibanding membaca. Mulai dari proses pencarian ide, membuat kerangka dasar penulisan kemudian menuangkannya ke dalam bentuk tulisan. Sebuah proses yang tak gampang.
Makanya, Bud Garner, salah seorang penulis buku best seller Chicken Soup Series, mengatakan, betapa menulis punya kelebihan dibanding sekadar membaca atau berbicara. "Ketika kamu bicara, kata-katamu hanya bergaung ke seberang ruang atau sepanjang koridor. Tapi ketika menulis, kata-katamu bergaung sepanjang zaman," kata Garner.
Tapi, seorang penulis juga manusia (bukan cuma rocker yang manusia), dalam proses kreatif tak luput dari alpa, salah dan khilaf. Sayang, kadang penulis lupa akan kesalahannya, atau malah tak mau tahu punya salah, merasa paling benar.
Maka, bermunculan penulis yang membawa kontroversi. Tulisannya menimbulkan polemik berkepanjangan. Bahkan tak jarang memancing emosi kaum, ras dan golongan tertentu. Ujung-ujungnya buku yang ditulis laku keras dengan menjual kontroversi itu. Satu contoh adlaah Salman Rusdi, penulis buku The Satanic Verses.
Ada pula media abal-abal, yang menjual sensasi ke pembacanya tanpa tahu etika. Demi oplah dan pendapatan, segala cara dihalalkan, hingga mau-maunya 'melacurkan' profesi. Kepada sesama rekan media berani melecehkan, menjatuhkan lantaran tuntutan bisnis. Idialisme pers pun dikubur dalam-dalam di dasar keserakahan dan kepentingan tertentu.
Penulis yang baik adalah pembaca yang sangat baik. Ibarat belajar, penulis yang baik sudah khatam membaca. Bukan hanya membaca dalam arti sesungguhnya, tapi juga bisa membaca situasi dan kondisi lalu menuangkannya dalam bentuk karya tulisan.
Jika pecipta sejarah kebanyakan adalah penguasa, maka di tangan penulis, di ujung penanya, sejarah bisa bermula, berakhir atau stagnan. Ini menunjukkan betapa pentingnya profesi penulis. Seperti diungkapkan Imam Al-Ghazali, seorang ulama, ahli fikir, ahli filsafat Islam. Kalau bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis. Tapi, menulislah dengan hati. (*)
Foto: Imam Al Gahzali, sumber: edukasi.kompasiana.com
Ya, menulis bukan pekerjaan sepele. Langkah berikutnya setelah seseorang bisa membaca adalah belajar menulis. Jika membaca memerlukan otak untuk mengenal huruf, menyimpannya di dalam memori lalu huruf-huruf dirangkai menjadi kata dan kalimat, maka ketika seseorang menulis, otak bakal bekerja lebih keras.
Ada proses kreatif yang merangsang otak bekerja lebih dibanding membaca. Mulai dari proses pencarian ide, membuat kerangka dasar penulisan kemudian menuangkannya ke dalam bentuk tulisan. Sebuah proses yang tak gampang.
Makanya, Bud Garner, salah seorang penulis buku best seller Chicken Soup Series, mengatakan, betapa menulis punya kelebihan dibanding sekadar membaca atau berbicara. "Ketika kamu bicara, kata-katamu hanya bergaung ke seberang ruang atau sepanjang koridor. Tapi ketika menulis, kata-katamu bergaung sepanjang zaman," kata Garner.
Tapi, seorang penulis juga manusia (bukan cuma rocker yang manusia), dalam proses kreatif tak luput dari alpa, salah dan khilaf. Sayang, kadang penulis lupa akan kesalahannya, atau malah tak mau tahu punya salah, merasa paling benar.
Maka, bermunculan penulis yang membawa kontroversi. Tulisannya menimbulkan polemik berkepanjangan. Bahkan tak jarang memancing emosi kaum, ras dan golongan tertentu. Ujung-ujungnya buku yang ditulis laku keras dengan menjual kontroversi itu. Satu contoh adlaah Salman Rusdi, penulis buku The Satanic Verses.
Ada pula media abal-abal, yang menjual sensasi ke pembacanya tanpa tahu etika. Demi oplah dan pendapatan, segala cara dihalalkan, hingga mau-maunya 'melacurkan' profesi. Kepada sesama rekan media berani melecehkan, menjatuhkan lantaran tuntutan bisnis. Idialisme pers pun dikubur dalam-dalam di dasar keserakahan dan kepentingan tertentu.
Penulis yang baik adalah pembaca yang sangat baik. Ibarat belajar, penulis yang baik sudah khatam membaca. Bukan hanya membaca dalam arti sesungguhnya, tapi juga bisa membaca situasi dan kondisi lalu menuangkannya dalam bentuk karya tulisan.
Jika pecipta sejarah kebanyakan adalah penguasa, maka di tangan penulis, di ujung penanya, sejarah bisa bermula, berakhir atau stagnan. Ini menunjukkan betapa pentingnya profesi penulis. Seperti diungkapkan Imam Al-Ghazali, seorang ulama, ahli fikir, ahli filsafat Islam. Kalau bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis. Tapi, menulislah dengan hati. (*)
Foto: Imam Al Gahzali, sumber: edukasi.kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar