SURVEI Global Peace Index pada 2009 menyebtukan Denmark menduduki posisi negara paling damai kedua di dunia, setelah Selandia Baru. Pada tahun itu juga, Denmark menjadi salah satu dari sedikit negara yang paling tidak korupsi di dunia, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi. Posisinya lagi-lagi kedua setelah Selandia Baru.
Bahkan, menurut majalah Forbes, negara yang menganut sistem Monarki Konstitusional ini adalah negara yang memiliki iklim bisnis terbaik. Sejak 2006 sampai 2008, hasil survei menunjukkan Denmark merupakan tempat yang paling menyenangkan di dunia", dipandang dari standar kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan.
Kemudian, antara abad ke-8 hingga 10, bangsa Denmark dikenal sebagai bangsa Viking. Bersama dengan orang Norwegia dan Swedia, mereka mengkolonisasi, berlomba, dan berdagang di semua bagian Eropa.
Sampai di sini, rasanya sulit membandingkan prestasi negara kecil ini dengan Indonesia. Terutama jika dikaitkan dengan indeks persepsi korupsi,masih harus belajar banyak dari Denmark. Tapi bukan persoalan korupsi yang ingin dibicarakan. Cuma soal si bola sepak atawa sepak bola.
Untuk urusan si kulit bundar ini, Denmark masih kalah dari negara-negara besar macam Jerman, Perancis, Inggris atau Italia. Ada cukup banyak pemain Denmark berbakat, tapi itu bukan menjadikan negaranya sebagai kiblat sepak bola. Tidak pula menjadikan Denmark pusat perhatian dunia.
Denmark pernah memiliki Michael Laudrup, salah satu pemain tersukses yang pernah bermain di klub elit Eropa seperti Juventus, Lazio, FC Barcelona, Real Madrid dan Ajax. Jangan lupa, Denmark pernah punya kiper tangguh, Peter Schmeichel yang membawa klub Manchester United meraih treble winner musim 1997-1998. Dan talenta-talenta itu berlanjut dengan kemunculan pemain masa kininya, Anders Lindegaard, Kasper Schmeichel dan Nicklas Bendtner.
Tapi, pemain berbakat tidaklah cukup. Di mata publik sepak bola, Denmark tidak lebih baik dibanding Italia atau Perancis, apalagi Spanyol. Padangan sebelah mata itu, mendadak luntur pada 1992, tepat di saat perhelatan Piala Eropa di Swedia. Denmark sukses meruntuhkan segala prediksi di Euro 1992. Tak ada yang mengira, perjalanan Denmark. Gagal lolos kualifikasi, kemudian bisa menembus putaran final setelah mendapat wildcard menggantikan Yugoslavia yang tengah dilanda perang, malah berjaya sebagai jawara.
Sejarah Denmark merupakan salah satu sejarah paling spektakuler di dunia sepak bola. Tim Dinamit yang sama sekali tidak diunggulkan justru tampil gemilang hingga akhirnya mereguk gelar internasional pertama dengan mengalahkan Jerman di partai final dengan skor 2-0. Ini betul-betul fakta from zero to hero.
Prestasi Indonesia masih sangat jauh dibanding Denmark. Tapi, semangat untuk meraih prestasi maksimal tentu diinginkan oleh segenap pecinta sepak bola Tanah Air. Bahwa bola itu bulat mengacu pada apa pun bisa terjadi saat pertandingan sepak bola, termasuk tim lemah bisa mengalahkan tim kuat, benar adanya. Tapi pembinaan tak kalah penting untuk menggapai prestasi. Kalau induk organisasi sepak bola Tanah Air tak kunjung reda dari konflik, bagaimana mau melakukan pembinaan? Prestasi sekadar impian belaka. (*)
Bahkan, menurut majalah Forbes, negara yang menganut sistem Monarki Konstitusional ini adalah negara yang memiliki iklim bisnis terbaik. Sejak 2006 sampai 2008, hasil survei menunjukkan Denmark merupakan tempat yang paling menyenangkan di dunia", dipandang dari standar kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan.
Kemudian, antara abad ke-8 hingga 10, bangsa Denmark dikenal sebagai bangsa Viking. Bersama dengan orang Norwegia dan Swedia, mereka mengkolonisasi, berlomba, dan berdagang di semua bagian Eropa.
Sampai di sini, rasanya sulit membandingkan prestasi negara kecil ini dengan Indonesia. Terutama jika dikaitkan dengan indeks persepsi korupsi,masih harus belajar banyak dari Denmark. Tapi bukan persoalan korupsi yang ingin dibicarakan. Cuma soal si bola sepak atawa sepak bola.
Untuk urusan si kulit bundar ini, Denmark masih kalah dari negara-negara besar macam Jerman, Perancis, Inggris atau Italia. Ada cukup banyak pemain Denmark berbakat, tapi itu bukan menjadikan negaranya sebagai kiblat sepak bola. Tidak pula menjadikan Denmark pusat perhatian dunia.
Denmark pernah memiliki Michael Laudrup, salah satu pemain tersukses yang pernah bermain di klub elit Eropa seperti Juventus, Lazio, FC Barcelona, Real Madrid dan Ajax. Jangan lupa, Denmark pernah punya kiper tangguh, Peter Schmeichel yang membawa klub Manchester United meraih treble winner musim 1997-1998. Dan talenta-talenta itu berlanjut dengan kemunculan pemain masa kininya, Anders Lindegaard, Kasper Schmeichel dan Nicklas Bendtner.
Tapi, pemain berbakat tidaklah cukup. Di mata publik sepak bola, Denmark tidak lebih baik dibanding Italia atau Perancis, apalagi Spanyol. Padangan sebelah mata itu, mendadak luntur pada 1992, tepat di saat perhelatan Piala Eropa di Swedia. Denmark sukses meruntuhkan segala prediksi di Euro 1992. Tak ada yang mengira, perjalanan Denmark. Gagal lolos kualifikasi, kemudian bisa menembus putaran final setelah mendapat wildcard menggantikan Yugoslavia yang tengah dilanda perang, malah berjaya sebagai jawara.
Sejarah Denmark merupakan salah satu sejarah paling spektakuler di dunia sepak bola. Tim Dinamit yang sama sekali tidak diunggulkan justru tampil gemilang hingga akhirnya mereguk gelar internasional pertama dengan mengalahkan Jerman di partai final dengan skor 2-0. Ini betul-betul fakta from zero to hero.
Prestasi Indonesia masih sangat jauh dibanding Denmark. Tapi, semangat untuk meraih prestasi maksimal tentu diinginkan oleh segenap pecinta sepak bola Tanah Air. Bahwa bola itu bulat mengacu pada apa pun bisa terjadi saat pertandingan sepak bola, termasuk tim lemah bisa mengalahkan tim kuat, benar adanya. Tapi pembinaan tak kalah penting untuk menggapai prestasi. Kalau induk organisasi sepak bola Tanah Air tak kunjung reda dari konflik, bagaimana mau melakukan pembinaan? Prestasi sekadar impian belaka. (*)